Setelah lama vakum, Teater Populer akhirnya kembali berkarya dengan mementaskan naskah Putu Wijaya. Aktor kawakan seperti Slamet Rahardjo Djarot, Niniek L. Karim, dan Reza Rahadian juga turut digandeng dalam comeback kali ini.
FROYONION.COM - Tak mungkin ada film jika tak ada teater.
Jauh sebelum layar perak populer, Indonesia punya seni teater yang sudah mengakar di budaya masyarakat Nusantara. Mulai dari wayang kulit, wayang golek, ketoprak, dan ludruk yang eksis era pra-kolonial, hinga teater modern yang eksis era 1960-an.
Teguh Karya adalah salah satu seniman yang menghidupkan era teater mutakhir kala itu. Ia mendirikan Teater Populer tahun 1968 dan menampilkan banyak sekali karya teater maupun film.
Setelah vakum cukup lama, kelompok Teater Populer yang sekarang dipimpin oleh aktor Slamet Rahardjo Djarot ini kembali berkarya di atas panggung.
Comeback mereka kali ini dirayakan dengan pementasan “Dag Dig Dug” yang di adaptasi dari naskah Putu Wijaya–sastrawan kondang asal Bali.
Sukses dipentaskan dua kali di Teater Salihara pada Sabtu (25/1) dan Minggu (26/1), “Dag Dig Dug” menceritakan tentang kehidupan sepasang suami-istri lanjut usia (Slamet Rahardjo dan Niniek L.Karim) yang tidak dikaruniai anak.
Untuk menghidupkan suasana rumah yang terlalu besar untuk ditinggali berdua, mereka akhirnya menyewakan kamar-kamar di rumah itu menjadi indekos.
BACA JUGA: TEATER PANDORA HADIRKAN ‘CONSTELLATIONS’: TEATER IMERSIF BERTEMA MULTIVERSE
Pada suatu malam, ibu membuka telegram yang sudah lama ia anggurkan. Tak disangka, rupanya isi telegram itu ialah berita kematian salah seorang anak kos bernama Chaerul Umam yang naas ditabrak mobil.
Tak lama, dua kolega Chaerul, Giarto (Reza Rahadian) dan Giarno (Donny Damara), datang untuk menyerahkan uang duka.
(Dari kiri) Donny Damara, Slamet Rahardjo Djarot, Niniek L.Karim, dan Reza Rahadian dalam pentas “Dag Dig Dug”. (Foto: Froyonion/Grace Angel)
Malu-malu tapi mau, sepasang suami-istri itu akhirnya berbohong tentang hubungan baik mereka dengan almarhum–dengan harapan kedua anak muda itu percaya bahwa mereka cukup akrab untuk menerima uang duka Chaerul.
Berbagai imajinasi sudah melayang-layang di kepala mereka tentang akan diapakan gepokan uang itu. Namun pilihan mereka jatuh pada menyiapkan liang kubur dan peti mati, kalau-kalau mereka akan meninggal segera.
Dari sinilah, berbagai konflik kecil yang berulang terus-menerus muncul.
Tentang bagaimana mereka melebih-lebihkan persiapan kematian, tentang bagaimana mereka akan menyerahkan indekos ke salah satu penghuni di sana, dan tentang bagaimana kekhawatiran mereka malah menindas pembantu mereka sendiri, Cokro.
Slamet Rahardjo sebagai pemain sekaligus sutradara melakukan revisi sebanyak 3 kali pada naskah asli Putu Wijaya.
Menurutnya, naskah aslinya bahkan lebih liar daripada yang ditampilkan.
“Putu Wijaya itu suka melebih-lebihkan masalah kecil dalam kehidupan. Saya kemudian menginterpretasi naskah ini dan mengubah sedikit. Itulah mengapa akhir ceritanya, Cokro yang menang,” tutur Slamet.
BACA JUGA: MOONBOY & HIS STARGUIDE THE MUSICAL: KETIKA LUKISAN JADI PANGGUNG MUSIKAL
Betul, pada akhir cerita justru Cokro yang hanya menjadi pembantu rumah tangga justru menjadi pemenang dari segala perdebatan dalam cerita ini.
Saat majikannya cerewet tentang peti jenis apa yang harus mereka beli atau tukang gali kubur mana yang harus mereka pakai, Cokro menjadi samsak dari amarah mereka.
Alih-alih diapresiasi atas kesabaran dan ketulusannya, Cokro yang hanya seorang pembantu hanya dipandang sebelah mata–tak jarang malah kasat mata.
“Dia kan aneh. Dia kan bukan siapa-siapa. Untuk apa memikirkan bagaimana nasibnya kelak?”, kira-kira begitu dialog Cokro saat merenungkan arti hidupnya di mata sang majikan.
Maka menjadi kemenangan sempurna saat adegan terakhir pementasan “Dag Dig Dug”, Cokro duduk di atas tanah kuburan sang majikan sambil mendengar permintaan maaf dari mereka yang sudah menindasnya.
BACA JUGA: FILM ‘RAHASIA RASA’ ANGKAT SEJARAH TENTANG BUKU RESEP MASAKAN NUSANTARA
Potret Cokro di akhir cerita “Dag Dig Dug”. (Foto: Froyonion/Grace Angel)
Dari pementasan ini, pesan bahwa orang yang sabar dan tulus akan menjadi pemenangnya jadi pesan moral yang dibawa pulang para penontonnya.
Tak hanya itu, pementasan “Dag Dig Dug” juga menjadi motor bagi Teater Populer untuk terus berkarya. Dari satu pementasan ini saja, sudah ada ratusan penonton yang menikmati, bagaimana jika rutin dilakukan?
Bisa jadi industri teater semakin di tahun 2025, melihat pelakon dan peminatnya juga semakin banyak–tak kalah dengan industri film.
Seperti yang dikatakan Slamet, “Ketika ide di film hampir habis, saya selalu kembali ke teater.” (*/)