Brand lokal dari Semarang ini masih terus menggeliat di tengah pandemi yang belum berhenti. Pada Froyonion.com, anak-anak muda di balik Wallace Authentic mengisahkan jatuh bangunnya membangun brand lokal ini dari nol.
FROYONION.COM - Bagi anak muda yang sedang merintis bisnis, tidak ada yang terasa lebih menyenangkan saat mendapatkan keuntungan finansial. Tapi tak banyak mereka yang paham dengan pentingnya visi yang lebih besar daripada sekadar mendapatkan uang banyak.
Setidaknya itulah yang dialami oleh 4 anak muda dari Semarang. Begitu mendapatkan segarnya laba dari bisnis, mereka menghabiskannya sampai tandas sampai bisnis mereka jadi kandas.
Untungnya mereka tak menyerah kalah. Bulan Juni 2019 menjadi saksi mereka kembali berkumpul dan memulai bisnis brand apparel lokal baru dengan dana mereka sendiri. Dan kali ini mereka bertekad tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Meski baru berusia dua tahun lebih, brand ini kerap disangka sudah diperkuat banyak orang. Padahal hingga sekarang baru 4 orang yang terlibat aktif dalam menjalankan operasional bisnisnya terutama di bidang marketing dan produksi.
Dua di antara 4 anak muda tadi adalah Rexy dan Faiz yang menyempatkan ngobrol bareng Froyonion.com secara virtual soal perjalanan brand mereka ini dari awal berdirinya hingga bisa sampai di titik sekarang pada Rabu lalu (4/8/2021). Berikut perjalanan brand lokal Semarang ini untuk kamu, Civillions.
Pemilihan nama “Wallace” sendiri bukannya tanpa alasan. “Nama ‘Wallace’ diambil dari nama seorang anak laki-laki pemberani, ekspresif, dan penuh semangat. Dulu kami sudah pernah bikin brand tapi gagal dan sekarang dengan Wallace, kami lebih berani & ekspresif sesuai makna Wallace itu sendiri,” kata Rexy, yang meski membesarkan brand asli Semarang tapi masih bekerja di ibukota.
“Kami mau bikin brand apparel tapi dari pengamatan kami di industri kreatif sekarang, sepatu lokal lagi oke banget,” tutur Faiz yang mengerjakan desain produk-produk Wallace.
Di awal berdirinya Wallace, Faiz memutuskan menggunakan nama “Rookies” untuk sneaker yang menjadi produk pertama mereka.
“Kata ‘Rookies’ sendiri kan artinya pendatang baru, penggebrak di tengah tren sepatu lokal,” ujar Faiz.
Pasar dalam negeri memang sudah dibanjiri produk-produk dari banyak brand asli Indonesia. Tapi menurut mereka, potensinya masih banyak. Bahkan dari pengamatan para pemilik brand lokal, ucap Rexy, brand-brand lokal mulai mendapatkan tempat di hati konsumen Indonesia. Lokal saja udah keren, ngapain beli luar negeri yang mahal?
Meski memilih fokus ke sepatu, bukan berarti mereka saat itu sudah ada yang paham seluk beluk dunia pembuatan dan desain sepatu jenis sneakers. Mereka terjun dan mencoba bisnis brand sepatu lokal ini dengan hanya bermodal nekat.
Pelan-pelan mereka mengembangkan brand baru ini sambil belajar dari banyak orang. Karena mereka tinggal di Semarang, mereka pun menggarap pasar di sana dahulu.
“Kita sering ‘sowan’ (berkenalan dan menimba ilmu dan pengalaman dari mereka yang dianggap lebih senior atau jago di bidangnya) ke para pemilik brand di Jawa Tengah atau Jakarta atau para pelaku industri yang berhubungan dengan bisnis kita. Dari mereka yang bersedia sharing misalnya melalui webinar para founder, kami coba terapin ke Wallace,” ucap Rexy.
Baginya, apa yang ia jalani di Wallace sekarang ini masih selaras dengan disiplin ilmu yang ia tekuni tatkala duduk di bangku kuliah di jurusan Ekonomi dari Universitas Sultan Agung, Semarang tahun 2017 lalu.
Lain dari Rexy, Faiz mengaku meski kini berkutat dengan desain sneakers dan sejenisnya, ia bukan lulusan jurusan desain. Ia merampungkan pendidikan sarjananya di Universitas Diponegoro Semarang di jurusan Hukum.
Namun demikian, bukan berarti apa yang ia pelajari selama kuliah dulu mubazir. Sebagai perintis brand lokal, ia sadar pentingnya melindungi desain yang dibuat agar tidak dijiplak orang. Ia pun mendaftarkan desain Wallace Authentic ke Depkumham. Di sini ilmu hukum yang ia pelajari terpakai.
“Kami memang sedang mengajukan HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) Wallace ke Depkumham dan sedang diproses. Ada waktunya 3 bulan untuk verifikasi tim HAKI,” ungkap Rexy.
Jadi buat kamu yang ingin buat bisnis, jangan lupakan kuliah karena sedikit banyak ada kok ilmu selama kuliah itu yang bermanfaat bagi pengembangan bisnis kamu ke depan.
Selama 2019 hingga 2020, mereka masih menjual secara daring baik melalui situs marketplace dan Instagram. Secara bertahap mereka menggandeng sejumlah toko mitra di sejumlah wilayah seperti Klaten, Solo, dan Jakarta. Berkat cara jual daring ini, produk sneakers mereka sudah bisa dibeli siapa saja termasuk yang di luar Jawa, bahkan sudah dipesan oleh pembeli di Manokwari, Papua.
Produk dengan desain baru Wallace dirilis setidaknya sebulan sekali. Dan untuk desain yang dihasilkan melalui skema kolaborasi memang membutuhkan waktu lebih banyak dari itu. Kebijakan PPKM selama pandemi membuat proses produksi agak tersendat.
Ditanya mengenai asal ia mendapatkan ide-ide desain sneakers Wallace yang unik ini, Faiz menjawab: “Dari SMP saja kita sudah ‘kemakan’ tren sepatu skateboard semua. Di antaranya Vans. Tapi lama-lama kami mikir: ‘Beli sepatu terus bosen deh, coba yuk bikin aja!’”. Dan ia menganggap inilah saat mereka terpicu dan terpacu untuk membangun Wallace sebagai brand sneakers lokal yang andal.
Keunikan sneakers Wallace, menurut Faiz, ialah silhouette atau desain yang khusus dan mencerminkan identitas Wallace.
Sebagaimana UMKM lainnya di Indonesia, Wallace juga berjuang untuk bisa bertahan menghadapi dampak pandemi ini. Sebelumnya produk-produk sneakers mereka yang termasuk harga relatif terjangkau ini selalu cepat terjual habis (sold out), tapi begitu pandemi melanda Indonesia yang ditandai dengan terdeteksinya kasus pertama Covid-19 di Jawa dan kemudian PSBB pertama diberlakukan, pelan-pelan angka penjualan mereka juga terdampak.
Sekarang dengan buka-tutupnya PPKM begini, mereka juga paham bahwa sebagian besar konsumen mereka juga masih berpikir seribu kali untuk merogoh kocek demi memboyong produk Wallace. “Penjualan masih ada tapi nggak sekenceng biasanya dulu,” Faiz mengaku.
Dampak pandemi yang lain bagi Wallace ialah sulitnya bertemu dan membangun jejaring dengan orang lain, sesama pemilik brand lokal dan komunitas yang menjadi basis konsumen mereka. “Bingung sih kita mau ke mana. Komunikasi dalam bentuk kumpul-kumpul, nongkrong-nongkrong, dan ‘sowan’ jadi terbatas sekali. Jadi seperti kehilangan gairah komunitas,” keluh Faiz.
Namun, tim Wallace juga berusaha untuk membuat gebrakan dengan membuat gerakan kolaboratif dengan para pengikut mereka di media sosial Instagram. Mereka mengajak followers untuk melakukan kustomisasi sneakers sesuai dengan minat dan kemampuan sehingga bagi mereka yang tertarik bisa menyalurkan daya kreasi dan kreativitasnya agar tak mati demi menunggu pandemi usai.
Faiz mengatakan gerakan kolaboratif semacam ini juga membuka peluang untuk mengangkat mereka yang berbakat tapi belum dikenal untuk bisa unjuk kemampuan.
Menurut Faiz, segmen yang mereka bidik adalah anak-anak muda yang menyukai dan terlibat dalam komunitas-komunitas olahraga semacam skateboarding, sepeda BMX, seni rupa (visual arts), graffiti, dan sejenisnya.
“Kebanyakan sih customer Wallace anak-anak SMA dan kuliah,” ungkap Faiz yang tinggal dan berkarya di Semarang sementara Rexy kerja di ibukota. Dari segmentasi konsumen ini, mereka juga memutuskan untuk tidak menjual produk Wallace di atas harga Rp400.000. Meski demikian, Wallace berusaha memberikan kemasan plus aksesori yang bernilai tambah.
Sempat seorang teman Rexy mengajaknya menjual produk Wallace ke mall-mall di ibukota dengan semangat “Lokal ke Mall”. Tentu saja Rexy menyambut dengan gembira ajakan tadi bak angin segar. Sayangnya pandemi keburu datang dan memupuskan harapan itu. Ia tahu dampak negatif pandemi pada kunjungan orang ke mall-mall dan tak mau bertaruh menaruh produk tapi tak ada yang beli sama sekali.
Meski penjualan sedang menurun dan kesulitan untuk nongkrong dan bertatap muka dengan komunitas yang menggemari produk mereka, tim Wallace tak lelah untuk terus berusaha menjalin interaksi dengan komunitas mereka. Mereka makin menekankan pentingnya kreativitas dalam memproduksi konten digital yang menarik dan tidak cuma jualan produk. Mereka sudah memiliki tim kreatif yang menjalankan strategi pemasaran digital via akun Instagram mereka @wallaceauthentic.
Hingga 2020, Wallace melaksanakan proses penelitian dan pengembangan dengan menggunakan metode ATM (Amati, Tiru, Modifikasi). Di pertengahan 2020, mereka baru mengembangkan desain sendiri.
“Rookie” dianggap sebagai purwarupa (prototype) yang kemudian disempurnakan menjadi “Cliffton Blink” yang baru dirilis. Untuk keluaran terbaru Cliffton Blink ini mereka terilhami oleh konsep desain sepatu-sepatu gaya vintage ala Reebok yang rumit tapi unik.
“Ada beberapa bagian yang diubah setelah mendapatkan masukan dari beberapa founders yang kami temui,” ungkap Faiz.
Mereka juga menggunakan metode pembuatan vulkanisir agar sneakers yang diproduksi bisa lebih awet, empuk, lentur, nyaman dan tahan banting.
Frekuensi merilis desain atau artikel baru itu sebetulnya bisa sebulan sekali tapi yang membuat lama adalah proses dalam kolaborasi sebuah desain. Proses produksi di masa pandemi sayangnya masih terkendala dengan tersendatnya pasokan material seperti bahan kanvas dan suede. “Semoga setelah pandemi berakhir, semoga kami bisa merilis sebulan sekali,” harap Faiz.
Berkat kerja keras dan cerdas keempatnya, brand Wallace pun mulai dikenal luas bahkan sampai terdengar di telinga sejumlah penggemar sneakers mancanegara. Rexy menceritakan ada sejumlah penggemar sneakers dari negeri jiran Malaysia, Singapura dan Australia yang menghubunginya untuk menyatakan minat memiliki produk Wallace.
Bagi Rexy dan Faiz, membangun brand lokal ialah juga tentang bagaimana membangun komunitas yang memiliki semangat dan minat yang sama. Mereka memiliki hubungan yang erat dengan komunitas-komunitas yang menaruh ketertarikan pada sneakers dan apparel.
“Kebetulan beberapa pemilik toko mitra kami juga suka skateboard dan Wallace mulai dikenal di kalangan anak skateboard. Ada juga rekan pendiri kami yang anak sepeda fixie yang membantu mengenalkan Wallace ke komunitas penggemar sepeda fixie di Semarang,” terang Rexy yang meyakini bahwa komunitas adalah akar dari sebuah brand yang sukses. Brand besar dunia sekalipun pasti bermula dengan tumbuh di komunitas yang terbatas kemudian berkembang meluas ke luar.
Rexy menaruh harapan bahwa Wallace akan lebih luas dikenal tak cuma di lingkaran pegiat skateboard dan sepeda fixie tapi juga di komunitas dan kultur lainnya. Dengan demikian baik Wallace dan komunitas-komunitas tadi akan sama-sama mendapatkan manfaatnya dan berkembang bersama-sama.
Setelah mencoba membesarkan Wallace dengan pendanaan pribadi mereka, akhirnya tim Wallace membuka diri untuk pendanaan dari investor. Dengan begini mereka juga bisa memperbaiki diri dari berbagai aspek, dari segi volume produksi bisa ditingkatkan, mutu produk juga meningkat, pemasaran makin bisa diperluas, dan sebagainya.
Sebagai brand sneakers lokal, memang kebanyakan pembeli masih dari dalam negeri. Tapi setelah menerima beberapa pertanyaan dari sejumlah orang dari negeri jiran Singapura, Malaysia bahkan Australia tentang bisa tidaknya produksneakers Wallace ini dikirimkan ke alamat mereka, mereka juga ingin menjajaki prospek bisnis di luar pasar Indonesia.
“Saya lihat sudah ada juga brand-brand lokal Indonesia yang jual produknya di toko-toko Singapura. Kami juga ingin menjajaki pasar ekspor,” tukas Rexy.
Tahun ini, Wallace baru saja memiliki workspace (kantor) fisik. Ke depan mereka ingin juga membuka workspace yang bisa difungsikan juga sebagai toko. “Jadi selain sebagai tempat kerja kami, nantinya workspace Wallace juga bisa menjadihomebase komunitas dan culture tempat orang berkumpul untuk bertukar informasi dan pengalaman bersama,” tukas Rexy.
Selama pandemi, sikap ‘wait and see’ memang tidak bisa diterapkan. Kelamaan menunggu malah bisa ‘tenggelam’ duluan. Begitulah pemikiran Rexy dan Faiz. Di tahun ini mereka memiliki target untuk berkolaborasi dengan salah satu brand lokal yang masih dirahasiakan dan menambah varian baru lagi.
“Untuk jangka panjang, kami mau melebarkan pasar dengan menambah jumlah toko mitra (partner stores) di Kalimantan atau Sumatra. Kami juga mau go international karena sudah ada orang Singapura dan Malaysia yang notice(memperhatikan) Wallace,” ucap Rexy.
Ia juga menyinggung dalam beberapa tahun mendatang, Wallace ingin mengalahkan brand lokal Compass dan yang sudah lebih dulu melesat di ceruk industri yang sama.
Faiz menimpali, di samping target-target tadi, Wallace juga tak akan mengesampingkan pentingnya komunitas. “Kami ingin menjadi rumah bagi komunitas-komunitas terutama di Semarang yang belum sekuat kota-kota lain. Kami juga ingin agar Semarang tidak dipandang sebelah mata, Semarang sebenarnya punya banyak peluang untuk industri kreatif, fashion, dan sebagainya.”
Untuk anak-anak muda yang ingin mencoba berbisnis dengan mendirikan brand lokal, Rexy berpesan: “Jangan takut mencoba dan gagal! Juga jangan baperan.’
Sikap gigih dan konsisten ini ditunjukkannya selama membesarkan Wallace hingga seperti sekarang. “Kita pernah ditipu vendor, rekanan, kena black campaign juga. Asal kita di jalur yang benar, tidak masalah.” (*/Akhlis)