Lifestyle

“VERT TERRE”: JENAMA LOKAL RAMAH BUMI DARI YOGYAKARTA

Dari jualan sedotan berbahan baja tahan karat, kini 2 mahasiswi Yogya ini terus membesarkan nama jenama lokal mereka “Vert Terre” dengan mengedukasi masyarakat agar mengonsumsi dengan lebih bersahabat dengan kelestarian planet ini.

title

FROYONION.COM - Sekilas kalo denger nama jenama (brand) ini mungkin kita nggak nyangka kalo ini dari Indonesia. Nama “Vert Terre” diambil dari bahasa Perancis yang maknanya adalah “bumi hijau”. 

Nama unik ini dipilih oleh 2 orang anak muda Yogyakarta Tiffani dan Ratri Sekar yang menggagas pendirian sebuah toko dengan tema ‘hijau’ yang mengajak anak-anak muda seperti mereka sendiri untuk mengadopsi gaya hidup ramah lingkungan. 

Vert Terre ingin menyebarkan gaya hidup hijau ke kalangan muda-mudi dengan mengemasnya menjadi lebih ‘keren’, sesuai selera anak muda sekarang, dan tetap dengan harga terjangkau. 

“Jangan sampai orang bosen atau segan go green karena terkesan cupu banget, pakai anyaman-anyaman yang nggak menarik,” ucap Tiffani.

Gimana Tiffani dan Ratri bisa ketemu? Usut punya usut, mereka udah temenan sejak SD dan memiliki minat yang sama dalam isu gaya hidup ramah lingkungan.

“Pertama kali aku (Ratri -pen) dan Tiffani mulai berjualan online tahun 2018 dan membuka juga toko offline yang juga menjadi toko curah (bulk store) sehingga orang-orang bisa membawa wadahnya sendiri,” jelas Ratri saat gue ajak ngobrol soal awal mula Vert Terre di sebuah booth di Mall Ambarukmo, Yogya (20/ 12/ 2021).

Usaha ini mereka lakukan semasa masih kuliah S1. Ratri masih duduk sebagai mahasiswi jurusan Arsitektur UII dan Tiffani mahasiswi jurusan Sastra Inggris UGM Yogyakarta. Mereka melihat naiknya minat terhadap gaya hidup less waste di sekitar mereka. 

“Saat itu mulai muncul tren less waste, kayak sedotan dari bahan stainless steel. Tiffani pakai, dan aku juga karena kita ingin menghasilkan sampah lebih sedikit.”

Setelah mereka menggunakan sedotan stainless steel itu, lebih banyak teman di sekitar mereka yang tertarik dan ingin tahu lebih banyak soal gaya hidup less waste

“Teman-teman sering bertanya,’Apa itu? Belinya di mana?’. Dari situ kita buat usaha aja,” ucap Ratri lugas. Sejak itu mereka memilih menjual barang-barang yang ramah lingkungan.

Tiffani sendiri menjelaskan bahwa alasan mereka menekuni bidang bisnis produk ramah lingkungan ini karena beberapa alasan. “Persaingannya sehat. Kita bisa memberdayakan UMKM dan belajar cara hidup ramah lingkungan,” kata perempuan yang tumbuh besar di Yogya ini.

Yang menarik dari Vert Terre adalah mereka melakukannya dengan learning by doing alias belajar sambil melakukan. Mereka nggak punya mentor.

“Kita banyak observasi aja apa yang banyak nge-hits sekarang. Kita juga bikin lebih banyak kampanye biar nggak cuma cuan doang tapi juga ada kontribusi ke lingkungan,” kata Tiffani. Yang pernah dilakukan Vert Terre misalnya kampanye donasi pohon bakau (mangrove) di Cilacap. Januari 2022 nanti mereka akan menanam pohon alpukat yang nggak cuma bermanfaat buat penghijauan tapi juga buat ekonomi warga di sebuah desa wisata.

Cara jualan mereka juga simpel aja. Promosi online, lalu jika ada yang minat, baru purchase order dan keuntungan ‘diputar’ lagi untuk jualan produk lainnya. Mereka baru ke marketplace malah setelah mendirikan toko offline di rumah Tiffani di “Jakal” (sebutan keren Jalan Kaliurang).

Mereka juga membuka toko di rumah Tiffani di Jalan Kaliurang KM 6,8. Meski ukurannya kecil, karena dibuka di rumah jadinya nggak banyak menghabiskan biaya dibanding kalau sewa ruko atau kios. 

Tiffani mengaku dirinya sengaja membuka toko offline Vert Terre di rumah karena orang tuanya senang kalau dia bisa berkegiatan di rumah. Lagipula tidak perlu bayar sewa tempat dan lokasinya termasuk lumayan strategis kalau mau berjualan sebab dekat dengan kampus-kampus. Otomatis mereka cuma menghabiskan biaya dekorasi toko dan pengadaan stok di toko.

Yang unik ialah mereka nggak nunggu dapet modal dari orang lain buat mulai bisnis ini. Tiffani dan Ratri pake modal sendiri buat berjualan sesuai dengan kemampuan mereka. Nggak muluk-muluk.

Meski bukan produsen, Vert Terre memiliki jejaring yang luas. Awalnya mereka mengumpulkan teman-teman mereka yang memproduksi barang-barang yang ramah lingkungan.

“Banyak teman kami yang bertalenta dalam membuat produk ramah lingkungan, misalnya ada teman yang jualan lulur, sabun alami, dan sebagainya. Kami berkenalan awalnya saat berjualan sebagai tenant dan mereka bersedia menjadi supplier Vert Terre,” tukas perempuan berkacamata ini.

Sejak itu, Vert Terre malah dapat tawaran dari UMKM yang berminat menjadi supplier. Kini mereka me-review produk-produk UMKM tadi dan jika memenuhi syarat, produknya akan ikut dipajang di toko. Dan Vert Terre lebih fokus untuk membangun kemitraan dengan industri rumahan, bukan dengan perusahaan-perusahaan atau jenama besar dan mapan.

Kalau ditanya apakah mereka kesulitan berbisnis sambil kuliah, Tiffani menjawab mereka mengerjakan urusan bisnis Vert Terre begitu beban kuliah sudah tertangani. Dan mereka buktikan sampai detik ini mereka masih bisa menikmati berbisnis sambil kuliah. 

Dengan latar belakang arsitektur, Ratri lebih merasa leluasa mengerjakan urusan yang berkaitan dengan visualisasi di Vert Terre. Ia memproduksi foto dan video untuk akun media sosial Vert Terre. Sementara itu, Tiffani yang berlatar belakang pendidikan Sastra Inggris menangani copywriting

Jangan bikin caption yang sok-sokan, kata Tiffani saat ditanya tips membuat orang mau menjadi pelanggan Vert Terre via media sosial. 

“Nggak banget sih kalo jaman sekarang bikin caption yang nyindir atau bernada negatif, apalagi menggurui, menyuruh atau memaksa. Anak muda sekarang nggak bisa digurui apalagi dipaksa,” ujarnya.

Konten yang dibuat juga lebih baik relatable dengan dunia anak muda. Dan ini lebih mudah karena Tiffani dan Ratri juga masih di kelompok usia yang sama. Satu contoh konten yang menurut mereka sukses adalah konten dengan tema “Patah Hati Ramah Lingkungan” yang berpesan saat kita menangis karena cinta kandas, lebih baik menyeka air mata pakai saputangan, bukan tisu yang notabene sekali pakai. Saputangan lebih baik karena bisa dicuci dan dipakai ulang.

Duo ini memberdayakan teman-teman mereka yang memiliki produk ramah lingkungan. Kebetulan beberapa teman Ratri dan Tiffani juga menekuni bisnis ramah lingkungan. Jadi emisi karbon dan biaya bisa ditekan.

Untuk perkara marketing, Tiffani dan Ratri emang masih mandiri. Mereka buat akun Instagram, kanal podcast dan TikTok sendiri. Untuk konten media sosial, mereka bikin sendiri tapi karena lama-lama kewalahan, sejak Februari 2021 mereka rekrut orang untuk mengurus customer service yang tugasnya balas DM.

Kemasan yang mereka gunakan di produk juga berbentuk anyaman dan besek (wadah dari anyaman kulit bambu) yang mereka peroleh dari perajin lokal di Bantul yang dikenal sebagai sentra kemasan di wilayah tersebut.

Soal kemasan, Vert Terre juga mengakomodasi penukaran kemasan kosong produknya agar bisa mengurangi sampah plastik kemasan.

“Untuk produk minyak esensial misalnya, kita beri diskon Rp2500 untuk konsumen yang bawa kemasan kosongnya untuk ditukar. Supaya jadi motivasi juga supaya nggak buang sampah kemasan itu,” imbuhnya.

“Intinya ya mengutamakan produk lokal, ramah lingkungan dan mendukung UMKM di sekitar kita,” imbuh Ratri.

Salah satu UMKM lokal yang menjadi mitra Vert Terre juga adalah “Bentala” (artinya “bumi” dalam bahasa Sansekerta), produsen sabun alami.

Sejak mereka merintis Vert Terre ini, Ratri dan Tiffani menemukan bahwa anak muda tuh perhatian juga dengan isu lingkungan hidup dengan syarat ada yang mengajak atau diberi fasilitas di sekitarnya. Misal saat mereka memberikan fasilitas isi ulang untuk produk yang sudah habis. Konsumen ternyata mau saat diharuskan membawa kemasan lama dan ini efektif untuk mencegah sampah kemasan baru.

Ratri dan Tiffani juga menjadikan usaha mereka ini sebagai sebuah alat edukasi untuk membangkitkan kesadaran hidup lebih minim sampah. Mereka mengisi sejumlah workshop di sekolah-sekolah baik SD, SMP dan SMA di daerah Yogyakarta dengan bekerjasama dengan jurusan Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta. Sisanya adalah undangan dari pihak sekolah masing-masing. 

Cara mengedukasi anak-anak usia sekolah terutama yang usia SD memang nggak mudah. Mereka mengajak anak-anak untuk berkreasi menghias botol-botol bekas dengan biji-bijian. 

“Kita sadarkan anak-anak bahwa sampah plastik itu nggak langsung hilang lho. Kalaupun sudah dibuang di tempat sampah pun nggak langsung hilang. Bisa ke laut, ke tanah,” tutur Ratri.

Dari situ, mereka mengajak anak-anak untuk lebih hemat dalam penggunaan barang-barang berbahan plastik.

Masyarakat lazimnya mencap produk-produk yang ‘hijau’ (ramah lingkungan) sebagai produk mahal yang menguras kantong. Menanggapi hal ini, Ratri mengatakan bahwa deterjen buatan pabrik bisa mencemari alam lebih berat dengan limbah kemasan plastiknya dan sisa deterjennya. Harganya memang lebih murah karena yang dikedepankan adalah keuntungan finansial.

“Tapi produk-produk lokal ini dibuat secara rumahan, bahan-bahannya dipilih secara cermat,  dan dipikirkan dampaknya terhadap lingkungan. Makanya harganya memang segitu,” ungkapnya.

Bagaimana kalau kita belum memiliki dana lebih untuk membeli produk yang ramah lingkungan? Ratri menjawab sederhana: Belanja saja ke pasar terdekat. Boleh aja beli produk yang ada di pasaran, tapi bawa wadah atau tas sendiri dan sampah plastiknya nanti dipilah dan didaur ulang.

Ia juga meluruskan bahwa gaya hidup ramah lingkungan nggak harus membeli barang baru tapi cukup dengan memanfaatkan apa saja yang kita miliki walaupun itu bahannya belum ramah lingkungan (baca: plastik). Tapi setidaknya kita sudah ada kesadaran untuk tidak menggunakannya sekali pakai saja dan langsung dibuang. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Akhlis

Editor in-chief website yang lagi lo baca