Melihat anak-anak kecil nongkrong mabar rame-rame di zaman yang serba virtual ini udah biasa. Tapi di Desa Ngablak, Magelang, masih ada sekelompok anak muda yang mencintai tari tradisi hingga kini.
FROYONION.COM - Diprakarsai oleh Slamet Santoso, kin Soreng Warga Setuju pun melahirkan bakat-bakat muda seperti yang muncul dari Azil dan anak-anak sekelas SD di Desa Ngablak.
Tahun 2019 lalu kelompok tari tradisi Soreng Warga Setuju dari Magelang diundang ke Istana Negara. Sebanyak 250 penari tampil dalam kesempatan itu.
Tari Soreng sendiri merupakan visualisasi dari sejarah Para Soreng, kalangan ahli bela diri di masa Kerajaan Mataram Islam masih berjaya. Dikenal dengan nama Para Soreng, mereka seperti perwujudan orang-orang garang yang diketuai oleh Arya Panangsang.
Kisahnya sebagai seorang murid dari Sunan Kudus dan memiliki trah kekuasaan adiguna Arya Panangsang pernah digadang-gadang sebagai calon penguasa tanah Jawa, terutama di Pesisir Utara.
Namun demikian, ia memilki akhir hidup yang cukup pilu, yakni kematian yang mirip dengan pengkhianatan. Danan Suto Wijoyo, anak dari Hadi Wijoyo yang mana masih merupakan kolega seperguruan di serambi Sunan Kudus menjadi tokoh penting di akhir hayat Arya Panangsang.
Dengan rasa takut yang diberani-beranikan, Gen-Z masa lampau itu menusuk Arya Panangsang dengan tombak keramat. Darah yang mengucur dari perut Arya Panangsang, yang disimbolkan dengan lilitan batin seperti usus di kerisnya, membuat dara itu tak berhenti mengalir. Akhir hidup Arya Panangsang pun tergariskan hari itu dengan tangis lara Para Soreng di sisinnya yang terus menghentakkan kaki di bumi Pesisir Utara.
Suara hentakan kaki itulah yang menjadi turunan estetik dalam Tari Soreng yang sudah mengalir dalam pijakan kaki Azil dan teman-temannya di Desa Ngablak. Seolah sudah resapi semua unsur kesenian dalam tarian itu, Azil dan teman-temannya melawan dinginnya dataran tinggi Ngablak yang kebetulan dekat dengan jalur Kopeng. Jalur ini terkenal dengan banyaknya perbukitan, irigasi dari waduk, dan perkebunan sayur pusat dari Jawa Tengah.
BACA JUGA: ASAL-USUL SENI BUDAYA ONDEL-ONDEL DI TANAH BETAWI
Pada lokasi terdingin kedua setelah Dieng itu, Azil tak kenal lelah mempelajari semua hal tentang Tari Soren. Untuk anak yang masih beruia 10 tahun, ia sudah hafal betul ritme-ritme musikal dari Tari Soreng. Ia juga kerap kali memimpin teman-temannya untuk berlatih, sekaligus menjadi inti dari gerakan Tari Soreng untuk kategori anak-anak.
Sudah sejak 75 tahun lalu, Soreng Warga Setuju aktif untuk melestarikan kebudayaan khas Jawa Tengah itu. Maka, bisa dikatakan bahwa sudah ada 75 generasi sekelas Azil yang lahir tiap tahunnya. Aktivitas kreatif ini pun terdengar sampai ke telinga Istana Negara tahun 2019 silam.
Tak ayal, pada momen itu mayoitas penari yang memenuhi istana adalah anak-anak belia, Gen-Z, hingga generasi millenial. Para tetua dari Soreng Warga Setuju hadir sebagai jiwa yang menata ritme permainan tradisional yang lahir dalam bentuk tarian itu.
Hingga kini, Tari Soreng dari Desa Ngablak pun menjadi energi spiritual dengan narasi yang hidup dalam setiap ritme tariannya. Energi spiritual itu dibagi dalam beberapa babak tarian. Ketika Azil dan teman-temannya yang menghentakkan kaki di atas arena tradisi, maka narasi yang hadir adalah Arya Panansang muda yang masih baru mengenal kehidupan—baru belajar hal-hal baru dengan permainan anak-anak sebagai simbolnya.
Masuknya anak-anak remaja yang mulai menari mengiris latar dalam arena pertunjukan itu, mempertontonkan bagaimana Arya Panangsang telah tumbuh semakin besar dan mulai mengenyam pendidikan dasar-dasar agama bersama Sunan Kudus.
Semakin riuh ketuk-ketukan gong dan gamelan, Arya Panangsang yang ditarikan oleh Soreng Warga Setuju pun masuk dalam narasi pertentangan dalam hidupnya. Segala pergolakan hidupuntuk mencari jati diri, melatih kuasa batin, menjadi seorang ahli silat yang tak bisa diremehkan.
Hingga, pada perang terakhir melawan Danang Suto Wijoyo, ia pun harus mengakui kelihaian generasi yang lebih muda daripadanya. Momen itu, seperti mengembalikannya kepada dirinya yang masih muda daam sosok Azil dan kru tarinya.
Narasi dalam tarian ini seolah menunjukkan bahwa anak-anak mudalah yang menggenggam kehidupan. Jiwa dan napas dari perkembangan zaman digerakkan oleh energi anak-anak muda yang dilatih sejak masih belia.
Dengan kekuatan yang sepertitak berbatas itu, anak-anak yang dilatih sejak dini akan mampu mengalahkan siapa saja di masa depan. Simbol semacam ini mengajak kita untuk menilhami bagaimana generasi masa kini pun perlu bersikap demikian untuk menggenggam semua perkembangan zaman.
“Kami kalau sore pasti udah kumpul di sini Mas! Latihannya selalu di depan rumahnya Pak Slamet,” terang Azil ketika gue temuin menelan latihan Tari Soreng.
Bercermin dari sosok Azil dan teman-teman sebayanya di Desa Ngablak, kita tahu bahwa mereka sedang menggenggam nilai tradisi agar terus hidup. Nantinya, generasi Azil yang akan mengajarkan nilai-nilaidari Tari Soreng ini kepada anak-anak yang mungkin sekarang masih di dalam kandungan.
Melihat hal ini, apa kita tidak ikut terpantik untuk bersemangat? Selain nilai-nilai tradisi, masih banyak hal di dunia ini yang membutuhkan anak-anak muda, terutama generasi millenial dan Gen-Z yang sekarang menjadi proyek generasi emas. Mungkinkah hal itu akan terjadi? Tentu, kita harus lihat lagi apakah kaki kita siap menghentakkan bumi seperti Azza dan teman-temannya di Desa Ngablak. (*/)