Sadar nggak kalian, film Indonesia makin keren-keren loh setelah pandemi. Mulai dari eksplorasi temanya, terus teknik pengambilan gambar, sampai platform yang menayangkannya lo. Ini nggak lepas dari peran rumah produksi.
FROYONION.COM - Kita seringkali cuma fokus sama pemain-pemain yang ada di depan layarnya kantuh. Memang, cara berakting dari tiap aktor atau aktris sangat penting dalam membangun sebuah cerita.
Penyampaian dialog hingga gestur punya peran vital bagi emosi yang akan didapatkan oleh audiens yang hadir di bioskop atau penonton yang mantengin film di smartphone lewat platform OTT.
Contoh saja nih, coba kamu liat Angga Yunanda yang berperan sebagai Bima dalam film Dua Garis Biru. Kita sebagai penonton berhasil diajak masuk ke dalam hidupnya yang masih SMA namun mengalami cerita hidup yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Mesti menjadi orang tua di usia remaja bersama Yunika yang diperankan oleh Zara Ex-JKT48. Lewat gestur dan dialog yang terjadi di antara keduanya, penonton seperti mengalami tekanan yang serupa.
Dibenturkan dengan usia remaja yang seharusnya menikmati masa muda dan terus belajar, tapi sebaliknya dihadapkan dengan rutinitas kehidupan keluarga seperti bekerja hingga mengasuh anaknya yang mana secara psikologis dan sosial mereka belum siap menerimanya.
Mayoritas kredit dan pujian pasti mengarah kepada aktor dan aktris yang memainkan perannya. Jelas itu nggak salah, tapi kita mesti juga me-mention keberhasilan orang dan tim yang ada di belakangnya, ada rumah produksi yang berhasil meramu ide dan mengeksekusinya.
Di film Dua Garis Biru sendiri ada Gina S. Noer dan Starvision Pictures yang menjadi dalangnya. Kolaborasi di antara keduanya sukses membuat film ini memperoleh 2.538.473 penonton berdasarkan rilis dari film Indonesia.or.id .
Nah, simak nih beberapa rumah produksi film di Indonesia yang mencuri perhatian belakangan ini lewat film-filmnya yang fresh secara tema dan teknik produksinya yang keren.
Rumah produksi ini berhasil mencuri perhatian dalam skala global lewat Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas besutan sutradara Edwin yang diangkat dari novel berjudul serupa karya Eka Kurniawan. Premisnya sangat kuat, bicara soal maskulinitas yang seringkali membuat kehidupan sosial menjadi rumit.
Bagi fandom dari Eka Kurniawan pasti sudah mengenal gimana cara tutur beliau, nuansa realisme-sosialnya begitu jelas. Ini nampak dari presentasi latar yang begitu jujur dan detail pada novelnya.
Wajah maskulinitas yang toksik ditarik dalam sebuah alur cerita yang mengisahkan seorang laki-laki bernama Ajo Kawir yang tak bisa ereksi alias impoten. Kondisi seksual Ajo Kawir yang impoten membuat ia mencari saluran lain untuk menunjukkan kejantanannya. Dan berkelahi adalah jawabannya.
Kemudian konteks Indonesia 80-an sangat kentara ketika kita melihat percakapan yang digunakan Antara Ajo, Iteung, dan juga Budi Baik. Kokohnya alur cerita, lalu detail-detail latar dan peristiwa seolah membuat novel ini menjadi sulit untuk divisualisasikan dengan apik.
Namun, hal ini langsung dibantah lewat karyanya Palari Films dan Edwin, Tidak banyak rumah produksi film yang berhasil mengeksekusi dengan baik ide cerita novel menjadi film yang dapat memuaskan fandom pembacanya. Kalau kamu belum nonton filmnya, silakan meluncur langsung ke Netflix, sudah tersedia di platform tersebut.
Komentar dari Variety sebuah media hiburan terkemuka, setidaknya merangkum kesan penonton tatkala selesai menyaksikan filmnya.
‘Biasanya ketika film berbicara soal impotensi, disampaikan dengan cara yang malu-malu atau terkesan tidak serius, film ini beda. Mereka lugas, keseluruhan film bicara soal disfungsi ereksi, yang mana didalamnya tersirat isu ketidakberdayaan dan pengebirian’.
Selain itu, seperti yang telah disebut sebelumnya rekognisi skala global diperoleh film ini melalui penghargaan dari Locarno Film Festival, Mereka berhasil menggondol Golden Leopard award ke tanah air.
Bahkan sebelum Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas , Palari Films punya pengalaman pula mengadaptasi novel lain menjadi sebuah film, Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak.
Bagi yang telah menyaksikan filmnya, selain dimanja mata kita lewat acting pemain kelas wahid seperti Nicholas Saputra, Dian Sastrowardoyo, Ario Bayu, hingga Hannah Al-Rashid, sebagai penonton tentunya sangat puas ketika presentasi visual yang tersaji berada dalam takaran yang pas, teknik pengambilan gambar terhadap objek kuliner yang ada berhasil membuat penonton terprovokasi untuk ikut merasakan makanan yang muncul.
Mulai dari menu makanan choi pan, lorjuk, hingga pengkang hadir tak hanya sebagai pelengkap visual tapi juga membuat cerita menjadi lebih padat. Oh iya, bagi yang belum menonton film Aruna dan Lidahnya, sedikit sinopsis, film ini menceritakan seorang epidemiologis atau ahli wabah bernama Aruna yang diperankan oleh Dian Sastrowardoyo.
Ia ditugaskan untuk meneliti dan melakukan observasi terhadap wabah flu burung yang sedang merebak di Kalimantan. Bersama sahabatnya Bono yang diperankan oleh Nicholas Saputra, Aruna merencanakan untuk berwisata kuliner sembari penugasan kerjanya menemukan sumber wabah flu burung. Selebihnya, tonton sendiri ya film Aruna dan Lidahnya, sudah tersedia kok di OTT platform.
Film terbaru dari Palari Films di tahun ini juga baru rilis di Netflix, Dear David besutan sutradara Lucky Kuswandi. Meskipun alur utamanya mengangkat kehidupan remaja (coming-of-age), namun irisan isunya cukup relate dengan berbagai problema yang ada di sekitar masyarakat kita, khususnya di lingkup pendidikan. Mulai dari kekerasan seksual, kakunya institusi sekolah, sampai tindakan bullying yang seperti ditoleransi oleh sekitar.
Film ini diperankan oleh Shenina Cinnamon, Emir Mahira, dan Caitlin North Lewis. Meskipun mendapat berbagai kontroversi di tengah masyarakat, Film ini berhasil menduduki peringkat 1 Netflix kategori film yang tayang di Indonesia.
Rumah produksi lain yang mencuri perhatian juga akhir-akhir ini adalah Fourcolour Films milik Ifa Isfansyah dan Kamila Andini. Bahkan selama 3 tahun terakhir mereka berhasil meraih kategori film panjang terbaik di piala citra edisi 2019 dan 2022 lewat Kucumbu Tubuh Indahku dan Before, Now, and Then (Nana).
Secara latar cerita, dua film tersebut setidaknya mewakili visi dari Fourcolour Films dalam bertutur dan menceritakan idenya yang seringkali bicara isu kehidupan lokal dan sekitarnya.
Misal film Kucumbu Tubuh Indahku yang disutradarai oleh Garin Nugroho, seorang maestro dan legenda di dunia perfilman Indonesia. Kucumbu Tubuh Indahku mengisahkan seorang lelaki penari lengger lokal yang mencoba memahami dan memaknai ketubuhannya sendiri.
Seiring waktu ia mengalami kisah asmara dengan berbagai laki-laki di perjalanan hidupnya. Sebagai sebuah film bertema queer, alur cerita yang ditawarkan di film ini cukup berbeda dibanding film segenre yang lain di Indonesia. Garin Nugroho mengatakan dalam sebuah interview via Google Meet:
Menurut saya salah satu nilai penting dari film ini kemampuan membaca feminin atau queer dalam hubungannya dengan seni pertunjukan, khususnya pertunjukkan lokal. Kebanyakan film queer kelas menengah atas dan budaya pop, tidak dalam kehidupan sehari-hari.
Di tengah kontroversi yang muncul saat film ini tayang di bioskop di tahun 2019 tapi karena keberaniannya mengangkat tema queer dan otentisitas cerita, film ini meraih predikat film panjang terbaik Piala Citra (FFI) pada tahun 2019.
Selain dua film yang telah disebutkan di atas, berbagai film karya Fourcolour Films juga punya plot yang sangat berani, kuat unsur kehidupan lokalnya, hingga eksplorasi visual yang berbeda, seperti Yuni (Kamila Andini), lalu Abracadabra (Faozan Rizal), hingga The Seen and Unseen (Kamila Andini).
Kali ini adalah rumah produksi yang dikomandoi oleh Angga Dwimas Sasongko. Filosofi Kopi membuat rumah produksi ini makin melejit, tak hanya hadir sebagai sebuah film, namun entitasnya makin meluas menjadi sebuah IP (Intellectual Property) yang output-nya banyak sekali bentuknya termasuk kedai kopi.
Yang menarik dari Visinema Pictures adalah berbagai film yang mereka produksi sering sekali mengangkat isu-isu historis yang ada di Indonesia seperti exile 65 lewat Surat dari Praha hingga yang terbaru Mencuri Raden Saleh dengan ide utamanya pencurian lukisan legendaris ‘Penculikan Pangeran Diponegoro’ Karya Raden saleh.
Kalo di lihat nih, pendekatan yang digunakan oleh Visinema ketika mengangkat sebuah film dengan tema-tema historis tertentu ini bisa dibilang sangat ramah. Ramah dalam arti apa? Ketika bicara film historis, stigma yang biasanya nampak di film-film Indonesia adalah, sajiannya akan kaku, dialog-dialog model klasik, atau diperankan oleh aktor dan aktris senior.
Namun, ini berbeda setidaknya dari dua film yang telah disebutkan tadi. Pertama Surat dari Praha, Angga Dwimas menyajikan kisah exile 65 ini dengan kemasan drama keluarga antara seorang gadis yang mencari kebenaran seputar kisah cinta ibunya dengan laki-laki yang menjadi True Love sang ibu. Diperankan oleh Julie Estelle (Larasati) dan Tio Pakusadewo (Jaya), Perubahan situasi politik yang terjadi pasca tahun 65 membuat Jaya dan Ibu dari Larasati tidak bisa bertemu kembali karena Jaya yang saat itu sedang menempuh pendidikan di Republik Ceko dan dilabeli sebagai ‘orang kiri’ oleh elit yang berkuasa.
Hal inilah yang membuat Larasati ingin mencari tahu kebenaran yang ada. Balutan cerita historis menjadi sebuah drama keluarga ini membuat isu 65 menjadi lebih mudah dikonsumsi untuk generasi berikutnya, Film lengkapnya bisa kamu saksikan di Amazon Prime Video.
Film kedua adalah Mencuri Raden Saleh, kemasannya bisa dikatakan sangat pop. Siapa sangka lukisan legendaris dari Raden Saleh bakal kita lihat dalam sebuah heist movie. Diperankan oleh bintang-bintang muda yang sedang naik daun seperti Iqbal Ramadhan, Angga Yunanda, Aurora Amanda, Umay Shahab, Aghniny Haque, hingga Ari Irham.
Tidak seperti heist movie lain yang hadir dengan perencanaan perampokan yang matang dan spektakuler, Mencuri Raden Saleh menunjukkan jika remaja-remaja yang tengah mencari jati diri dan keluar dari masalah hidupnya mampu juga melakukan aksi demikian.
Tentu tidak sematang seperti film Italian Job, namun di sinilah unik dan menariknya. segala hal yang memperlihatkan lubang atau minor dari perencanaan mereka, makin membuat film ini nampak realistis bagi penontonnya, terbukti dengan jumlah penonton yang mencapai 2.350.741 menurut data filmindonesia.or.id.
Lewat jumlah penonton yang cukup banyak di film Mencuri Raden Saleh, menghadirkan alternatif baru bagi sineas untuk memproduksi film-film bertema historis dengan pendekatan yang lebih nge-pop.
Nah, itu tadi beberapa rumah produksi film Indonesia yang belakangan ini lagi mencuri perhatian, Kamu bisa tonton film-film karya mereka di berbagai platform OTT loh, nyaris semuanya sudah tersedia. Dukung terus film-film lokal kita ya. (*/)