Berkulit putih dianggap sebagai standarisasi kecantikan yang selalu disematkan pada perempuan. Pendisiplinan tubuh tidak hanya dilakukan oleh masyarakat, namun juga epos cerita wayang, kolonialisme, dan citra perempuan yang ditampilkan di media.
FROYONION.COM - Hidup di masyarakat yang masih memandang tampilan luar sebagai nilai utama masih sering kita rasakan. Tidak hanya bentuk wajah, potongan rambut, dan tinggi badan saja yang bisa dipermasalahkan, namun masalah warna kulit juga menjadi hal yang lumrah didikte. Tidak jarang warna kulit kita menjadi pembicaraan di tengah keramaian, entah itu circle pertemanan maupun keluarga.
Pasalnya, warna kulit yang cenderung gelap dianggap sebagai sesuatu yang kurang menarik atau kurang cantik. Sedangkan kulit terang atau putih digaungkan sebagai wujud kecantikan, keanggunan, dan keselarasan hidup. Diskriminasi yang banyak terjadi di Indonesia terkait warna kulit lebih sering melanda perempuan. Meskipun banyak pula laki-laki yang juga mengalaminya.
Namun, pendiktean warna kulit terhadap perempuan tidak hanya semata-mata menyasar itu saja. Hal ini juga berimbas pada standarisasi kecantikan yang diidam-idamkan dan bagaimana perempuan diperlakukan di sistem masyarakat.
Obsesi untuk menjadi putih terus digaungkan, baik melalui produk kecantikan, skincare yang mengandung pemutih, iklan, media massa, dan konstruksi masyarakat yang menempatkan kulit putih sebagai manusia superior.
BACA JUGA: APAKAH ‘GOOD LOOKING’ MASIH JADI STANDAR NYARI KERJA?
Memang sudah sejak lama ideologi kecantikan digunakan untuk menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Tanpa kita sadari, kita kerap melakukan diskriminasi ketubuhan dengan scanning wajah dan tampilan seseorang. Hal ini mendorong perempuan untuk selalu berusaha mematuhi nilai-nilai masyarakat yang disematkan pada tubuhnya.
Sehingga ritual kecantikan tidak pernah ada habisnya, atau dalam istilah Foucauldian “mendisiplinkan” tubuh perempuan secara berbeda dengan tubuh laki-laki bahkan memanufakturnya sebagai “tubuh-tubuh yang patuh”.
Dalam bukunya, Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional, L. Ayu Saraswati menggali secara dalam bagaimana narasi menjadi putih muncul pertama kali. Barangkali kita berpikir bahwa narasi putih bermula melalui ideologi kolonialisme Barat yang menempatkan perempuan berkulit putih sebagai ras unggul yang lebih pandai dan beradab.
Namun, ternyata, narasi putih sudah ada sejak zaman sebelum itu. Hal ini terlihat dari epos India Ramayana yang diadaptasi di Jawa pada akhir abad ke-9. Tokoh perempuan bernama Sita selalu diperlihatkan sebagai sosok yang cantik dan bercahaya bagaikan sinar rembulan di malam hari. Kulitnya yang bersih dan mulus menunjukkan kecantikan paripurna dan kelembutannya hatinya.
Hal ini sangat berbeda dengan sosok Rahwana, tokoh antagonis dalam cerita Ramayana yang hendak menculik Sita. Sosoknya tinggi besar, beringas, dan memiliki aura yang gelap. Kegelapannya menunjukkan keangkeran hati dan tipu muslihat yang selalu ia lancarkan untuk mengelabui musuh-musuhnya. Melalui cerita ini, kita bisa tahu bahwa penggambaran sosok yang putih dan bercahaya diibaratkan sebagai mereka yang baik, penjaga, dan senantiasa membawa kedamaian. Sedangkan sosok hitam dan gelap merupakan mereka yang dianggap jahat, bengis dan tanpa ampun.
Kemudian memasuki masa kolonialisme, makna putih semakin menguat dengan hadirnya wujud konkret yaitu manusia-manusia kulit putih dari Barat. Menjadi putih dianggap sebagai tujuan untuk bisa setara secara intelektual, ideologis, kelas, dan martabat sehingga orang pribumi berbondong-bondong untuk mengadopsi nilai-nilai barat.
Mulai dari gaya hidup, cara berpakaian, cara berbicara, dan obsesi untuk bisa menyerupai manusia Barat. Putih berkembang menjadi supremasi dan cara pandang baru melihat dunia yang lebih modern, maju, dan progresif ketimbang masyarakat primitif yang masih kental dengan takhayul dan jauh tertinggal.
Bahkan masyarakat dari Asia Timur yaitu Jepang dan Cina ditempatkan sebagai orang Eropa hanya karena kulit putih mereka. Sedangkan pribumi yang cenderung berkulit gelap ditempatkan sebagai budak dan pekerja seks yang harus memenuhi produksi kapital dan hasrat seksual manusia Barat.
BACA JUGA: KENAPA BULU KETIAK TABU DALAM STANDAR KECANTIKAN KOREA SELATAN?
Tanpa kita sadari, warnaisme kulit memberi afeksi yang melekat pada gagasan kecantikan. Terutama di tengah industri kosmetik dan dunia kecantikan ini, tidak terhitung berapa banyak orang berlomba-lomba untuk menjadi beauty vlogger yang menjajakan berbagai produk dengan kandungan extra whitening, glowing, brightening, dan kandungan lainnya yang mampu membuat wajah lebih putih dan bersinar.
Produk juga sangat beragam mulai dari lokal sampai impor, dari makeup sampai skincare, dari tren 10 steps korean routine sampai pada ‘puasa’ skincare. Industri kapitalisme berbalut kecantikan ini dibuat untuk mendorong para perempuan agar menjadi putih dengan produksi barang yang mereka tawarkan.
Narasi kecantikan di atas menjadi tidak terhindarkan ketika perempuan dituntut untuk bertubuh patuh dan feminin. Mereka digiring untuk membeli produk pasar yang diiklankan supaya mampu tampil sebagai individu yang dicitrakan, dan meredam efek malu karena tidak memenuhi prasyarat menjadi “cantik”.
Produk tersebut dijadikan jawaban atas rasa malu dan menjadi bahagia. Pasar menjadikan tubuh perempuan sebagai objek yang disasar untuk mencapai kebahagiaan yang semu. Kebahagiaan melalui konsumsi komoditas ditawarkan untuk menimbulkan rasa akan kebutuhan memiliki kehidupan yang lebih baik. Dan kebahagiaan tersebut disimbolkan dengan menjadi “putih”.
Penghukuman terhadap tubuh perempuan memang tidak ada ada habisnya. Mereka yang tidak masuk dalam kategorisasi cantik akan diganjar dengan ujaran tidak menyenangkan dan dijatuhkan moralnya. Seolah-olah mereka tidak layak ada di tengah-tengah masyarakat.
Pada bab-bab terakhir Saraswati juga memaparkan para perempuan dari latar belakang yang berbeda-beda terkait pengalaman dan perasaan mereka mengenai warna kulit. Sebagian besar mengatakan pernah menggunakan produk pemutih atau berusaha memoles bagian kulit yang tampak untuk bisa terlihat lebih putih. Hal ini mereka lakukan untuk menutupi perasaan malu dan agar dapat diterima seperti orang pada umumnya.
Penulis merasa perlu adanya kesadaran diri yang utuh dan kemauan untuk lebih memahami ini semua. Hentikan diskriminasi terhadap tubuh perempuan. Penghinaan terhadap tubuh perempuan, berarti menghina Tuhan yang menciptakannya pula.
Parameter kecantikan hanya diukur pada tataran dangkal melalui kulit putih, rambut panjang, bermata belo, hidung mancung, dan unsur fisik lainnya. Bukan pada sisi intelektual, keberhargaan diri, belas kasih, rasa percaya diri, dan kontribusi apa yang membuatnya merasa berarti untuk dirinya sendiri maupun orang di sekelilingnya. (*/)