Books

MENANTANG NORMA SOSIAL DALAM BUKU ‘THE SATANIC VERSES’ DAN ‘HUCKLEBERRY FINN’

Buku The Satanic Verses karya Salman Rushdie dan The Adventures of Huckleberry Finn karya Mark Twain dinilai kontroversial. Hal itu juga berpengaruh ke dalam kehidupan para penulisnya.

title

FROYONION.COM - Novel sastra yang kontroversial sering kali memicu perdebatan sengit di masyarakat, terutama ketika karya tersebut menyentuh topik yang sensitif, seperti agama atau moralitas. 

Salah satu contoh yang paling terkenal adalah "The Satanic Verses" karya Salman Rushdie. Buku yang diterbitkan pada tahun 1988 ini menggambarkan kisah di mana Nabi Muhammad dikisahkan keliru menganggap kata-kata setan sebagai wahyu Tuhan. 

Hal ini memicu reaksi keras dari berbagai pihak, terutama bagi pemeluk agama Islam. 

Meskipun para kritikus sastra memuji buku tersebut, pihak otoritas agama mengutuknya, termasuk Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Khomeini, yang mengeluarkan fatwa menyerukan pembunuhan Rushdie.

Kehidupan Rushdie sejak saat itu berubah drastis. Dia harus hidup di bawah perlindungan polisi, menghadapi ancaman pembunuhan yang nyata selama lebih dari tiga dekade. 

Ancaman ini bukanlah sekadar gertakan; pada tahun 2022, Rushdie hampir tewas dalam serangan di New York ketika sedang memberikan ceramah. 

Ancaman terhadap nyawanya hingga kini masih ada, dan beberapa negara seperti Pakistan, Arab Saudi, Indonesia, hingga Malaysia melarang peredaran buku ini. 

BACA JUGA: BUKU ‘KEPIKIRAN DANGDUT’: MELIHAT BAGAIMANA MUSIK DANGDUT BERTAHAN DAN MELAWAN

Lebih dari itu, toko buku di Inggris dan Amerika yang menjual buku ini juga diserang bom. Bahkan, penerjemah Jepang dari buku ini, Hitoshi Igarashi, dibunuh pada tahun 1991.

Namun, tidak semua kontroversi bersumber dari topik sensitif agama. Beberapa buku menjadi kontroversial karena pengarangnya sendiri, seperti yang terjadi pada Rushdie. 

Selain itu, buku-buku yang dianggap melampaui zamannya sering kali dikecam saat pertama kali diterbitkan, namun diakui sebagai karya besar seiring berjalannya waktu. 

Sebaliknya, ada pula buku yang diterima dengan baik di zamannya, namun akhirnya jatuh dari penghargaan ketika standar moral dan sosial berubah.

SISI POSITIF KARYA YANG KONTROVERSIAL

Kontroversi dalam dunia sastra bukanlah sesuatu yang buruk. Faktanya, karya-karya yang kontroversial sering kali mengangkat isu-isu penting seperti ekstremisme agama, seksisme, rasisme, atau penyalahgunaan kekuasaan. 

Semakin terang-terangan seorang penulis mengungkapkan pandangannya tentang dunia atau pengalaman manusia, semakin besar kemungkinan mereka untuk memicu reaksi negatif dari sebagian pembaca.

Contoh lain dari buku yang sangat kontroversial adalah Tropic of Cancer karya Henry Miller. Novel ini mengisahkan eksploitasi seksual seorang ekspatriat miskin yang tinggal di Prancis pada tahun 1930-an. 

Bahasa yang sangat eksplisit dalam novel ini menyebabkan banyak pihak di Amerika menganggapnya sebagai karya yang tidak bermoral dan tidak pantas dicetak. 

BACA JUGA: KONTROVERSI PALWORLD VS POKEMON, TERINSPIRASI ATAU PLAGIASI?

Meski novel ini selesai ditulis pada tahun 1934, buku tersebut baru bisa diterbitkan pada tahun 1961 setelah melalui berbagai proses hukum.

Bahasa vulgar dalam novel ini, seperti deskripsi seksual eksplisit, membuatnya dilarang selama bertahun-tahun. 

Namun, para pendukung kebebasan berbicara terus berjuang untuk memperbolehkan penerbitannya, dan akhirnya pada tahun 1964, larangan terhadap Tropic of Cancer dicabut. 

Keberhasilan penerbitan novel ini juga menjadi tonggak penting dalam sejarah kebebasan berekspresi di Amerika Serikat. Sekarang, karya seni dalam bentuk apa pun, termasuk film dan musik, memiliki perlindungan hukum yang lebih luas di negara tersebut.

GENDER JADI PENYEBAB KONTROVERSI

Selain masalah moral, gender menjadi salah satu penyebab kontroversi dalam dunia sastra. Contohnya, Charlotte Brontë, salah satu penulis perempuan terbesar dalam sejarah, menghadapi banyak kritik di masanya karena dia adalah seorang wanita. 

Di era Victoria, dianggap tidak pantas bagi seorang wanita untuk menjadi penulis profesional. Oleh karena itu, Brontë bersama dua saudara perempuannya, Emily dan Anne, menggunakan nama pena laki-laki untuk menerbitkan karya-karya mereka. Charlotte Brontë menulis dengan nama Currer Bell.

Novel Jane Eyre, salah satu karya paling terkenal Brontë, menuai banyak spekulasi tentang identitas penulisnya. Beberapa kritikus menduga bahwa penulisnya adalah seorang pria karena gaya bahasanya yang kuat dan tidak biasa untuk penulis wanita saat itu. 

Namun, ketika terungkap bahwa Currer Bell sebenarnya adalah seorang wanita, Brontë langsung menghadapi serangan dari kritikus konservatif yang merasa bahwa karya tersebut terlalu "radikal" untuk seorang wanita.

BACA JUGA: CIU BEKONANG, MIRAS LOKAL LEGENDARIS PENUH KONTROVERSI DARI SUKOHARJO

Di sisi lain, beberapa buku kontroversial tetap menjadi perdebatan sepanjang sejarah, seperti The Adventures of Huckleberry Finn karya Mark Twain. Sejak diterbitkan pada tahun 1884, buku ini menghadapi kritik karena penggunaan bahasa dialek dan penggambaran karakter ras. 

Beberapa kritikus memuji Twain karena dianggap progresif dalam penggambaran karakter Jim, seorang budak yang melarikan diri, sementara yang lain menganggap penggambaran tersebut tidak sensitif. 

Meskipun begitu, Twain sendiri tidak terlalu peduli dengan kontroversi yang mengelilingi bukunya, bahkan menyambut baik pelarangan bukunya karena dia yakin hal tersebut hanya akan meningkatkan penjualan. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Muhammad Nur Faizi

Reporter LPM Metamorfosa dan menjadi Junior editor di Berita Sleman.