Romantisasi perkawinan masih terus digaungkan tatkala pengalaman miris dan ironi perempuan justru banyak disembunyikan. Kitab Kawin memaparkan berbagai cerita, pengalaman, dan perasaan para perempuan yang lelah, patah, dan kalah dalam setiap lika-liku kehidupan.
FROYONION.COM - Pertanyaan kapan kawin adalah hal yang akan segera kamu dengar tatkala sudah mulai menginjak usia 23 tahun atau bisa lebih muda dari usia itu. Pertanyaan itu akan semakin ganas ketika kamu beranjak usia 24-25 tahun. Kemudian kamu akan semakin dirongrong ketika kamu menginjak usia 27 tahun. Dan jika kamu sudah menapaki usia 30 tahun, cemooh akan segera kamu dengar.
Banyak para perempuan yang dijatuhkan moralnya dengan ejekan perawan tua, sudah kedaluwarsa, tidak laku, dan ungkapan menyakitkan lainnya. Perempuan selalu didera baik oleh keluarga maupun masyarakat ketika ia belum menikah.
Jika mereka memiliki status sosial yang baik, seperti menempuh pendidikan yang tinggi atau memiliki jabatan strategis dalam suatu perusahaan, mereka akan senantiasa dilabeli sebagai para perempuan yang ketinggian mimpi. Atau tidak jarang pula, mereka dicap sebagai perempuan-perempuan pemilih.
Jadi, wajar saja jika tidak ada yang mau dengan mereka. Padahal stigma tersebut biasanya datang dari seseorang yang sebenarnya rendah diri dan insecure namun, menghakimi para perempuan yang kedudukannya lebih tinggi dari mereka.
Satu hal yang perlu kita pahami, dalam setiap perkawinan ada banyak hal mengejutkan yang mungkin luput untuk kita sadari. Mimpi indah perkawinan selalu menjadi hal yang diromantisasi tanpa tahu bahwa sisi kelam dan pahit yang muncul adalah bagian belakang mata uang yang seringkali tidak kita lihat.
BACA JUGA: MENGAPA ANAK MUDA JAMAN SEKARANG MALAS MENCARI PASANGAN ATAU MENIKAH?
Dalam buku terbarunya, Kitab Kawin Kumpulan Cerpen, Laksmi Pamuntjak menyingkap tirai kusam perkawinan dalam setiap ragam pengalaman ketubuhan perempuan yang berlatar belakang berbeda-beda. Dan yang harus kamu tahu, isu yang diangkat dalam buku ini sama sekali bukan bacaan yang ringan. Pasalnya, Laksmi fokus terhadap berbagai persoalan yang banyak dihadapi para perempuan, namun seringkali tabu untuk dibicarakan secara terbuka.
Melalui buku ini kita akan menemukan cerita para perempuan pekerja toserba, seniman paruh baya, pekerja seks, ibu rumah tangga borjuis, dan ragam perempuan yang mengalami pasang surut kehidupan perkawinan. Ada banyak persoalan hidup yang mereka hadapi.
Tanpa tedeng aling-aling, Laksmi dengan lugas menceritakan konflik kehidupan rumah tangga yang banal, liar, dan mengganggu pembacanya. Mulai dari egosentrisme, konflik seksualitas, skeptisisme kekerasan seksual yang terjadi di rumah sendiri, isu perkawinan dini, poligami, kawin lari, prostitusi, sampai cerita perempuan abnormal pedalaman Pulau Buru yang jatuh cinta dengan seorang Tapol.
Laksmi dengan piawai menampilkan kompleksitas karakter dan pengalaman para tokoh perempuannya yang ia sebut dalam setiap judul cerpen. Seperti Kitab #3: Sarah, “Selingkuh untuk Mencintai dengan Lebih Baik.
Sarah pada akhirnya mengaku pada Hanin, bahwa ia telah berselingkuh dengan lelaki lain. Raut wajah Hanin tidak menunjukkan keterkejutan. Ia hanya bertanya, “Sejak kapan?”. Sarah menjawab, “Lima tahun lalu.”
Dari perkawinannya bersama Hanin, Sarah memiliki dua orang anak. Namun, institusi perkawinan dengan bahtera rumah tangga ideal seperti yang Sarah miliki sekarang justru membuatnya merasa hampa. Ia menganggap tanpa perkawinan, tidak akan ada orang yang akan meliriknya.
Dengan perkawinan inilah orang memperlakukannya ada -- sebagai manusia. Perkawinan memberinya peran dan status sosial yang banyak diidam-idamkan perempuan lainnya, dan diagungkan oleh masyarakat kita. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, ia merasa semakin kehilangan diri sendiri.
BACA JUGA: TREN NIKAH GRATIS DI KUA NGGAK KALAH KEREN DENGAN NIKAH MEWAH DI GEDUNG
Dalam sistem dominasi masyarakat kita yang patriarki, peran perempuan kerap dikerdilkan sebagai seorang istri, atau ibu, atau keduanya, yang menempatkan mereka dalam ranah domestik. Perempuan dilimpahkan dengan segala tanggung jawab mengurus rumah, anak, dan suami sedangkan keberadaannya menjadi terpinggirkan. Adalah tugas perempuan untuk bisa membuat rumah tetap dalam keadaan bersih, rapi, dan tertata.
Sedangkan hal ini tidak berlaku pada laki-laki. Pembagian beban ganda domestik tidak menjadi tanggung jawab laki-laki. Perannya di ranah publik dianggap sebagai prioritas, menghasilkan upah, dan mencerminkan sosok laki-laki sebagaimana yang dikonstruksikan oleh masyarakat. Sedangkan perempuan yang 24/7 melakukan kerja reproduksi rumah tangga dinilai sebagai kodrat alam yang ditakdirkan untuk tidak dihargai dan diupah.
Tidak hanya itu, pekerjaan rumah tangga juga diubah menjadi atribusi alami dari fisik dan kepribadian perempuan, yang konon berasal dari dalam yaitu: perasaan. Karena tubuhnya yang lemah, maka perempuan di tempatkan di dalam rumah untuk mencuci baju, menyapu, memasak, dan kerja-kerja domestik lainnya yang dianggap remeh-temeh.
Sedangkan kepribadiannya yang emosional, mudah tersinggung, sentimentil, dan irasional membuatnya dianggap tidak dapat bersaing di ranah publik yang didominasi oleh laki-laki. Selain itu, konstruksi pembawaan natural perempuan yang dinilai lemah lembut, penuh kasih sayang, dan siap berkorban diletakkan sebagai kepribadian yang cocok untuk mengurus kebutuhan anak dan melayani hasrat laki-laki.
Tanpa disadari, kebanyakan dari kita terbuai akan ilusi perkawinan yang dipandang dapat memberi uang, keamanan, cinta, dan keturunan. Faktanya, kasus kekerasan seksual terhadap anak dan KDRT justru banyak dialami perempuan di dalam rumahnya sendiri oleh orang yang paling dekat. Seperti yang Laksmi tuangkan dalam Kitab #2: Maya, “Azul Maya”.
Ia adalah seorang gadis berusia 15 tahun yang mengalami pemerkosaan berkali-kali oleh bapaknya, Sigit, di rumah sendiri. Dan yang paling ironi adalah tidak ada satu pun anggota keluarga yang berani bersuara karena menganggap hal ini sebagai aib, termasuk oleh ibu korban sendiri. Ketika seorang bibi Maya, Lia, mengetahui hal ini ia bermaksud untuk melaporkan Sigit. Namun, karena Sigit memiliki relasi orang dalam, hal ini membuatnya bisa dengan leluasa keluar masuk penjara.
Dalam Festival Puasastra bertajuk “Sastra, Isu Sosial, dan Perempuan yang diadakan komunitas Semut Merah Kaizen tahun lalu melalui IG Live, Laksmi mengungkapkan bahwa menulis pengalaman kekerasan seksual tidaklah mudah. Ia pun juga merasakan gejolak batin dan getir ketika harus menuliskan cerita yang diadaptasi dari berbagai berita kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia.
Kekerasan seksual yang terjadi bahkan oleh bapak sendiri adalah bentuk penghancuran paling bejat terhadap tubuh dan jiwa perempuan. Baik masa kini maupun masa depannya terenggut oleh pelaku yang bisa berkeliaran sesuka hati. Sedangkan pihak berwenang tidak berbuat apa-apa ketika suatu kejahatan terjadi dan justru mengambil keuntungan dari benang kusut persoalan.
Seperti yang saya bilang di atas, buku ini memang bukan buku yang mudah untuk dibaca. Energi kita akan segera habis ketika hendak menyelesaikan dalam sekali waktu. Maka dari itu, saran saya, baca buku ini secara perlahan dan sesekali menarik napas sehingga setiap isu dan konflik yang disuguhkan bisa kita serap dan refleksikan dengan baik.
Kita harus menyadari bahwa isu perempuan dan kekerasan seksual masih banyak terjadi. Dan para predator seksual lebih banyak menyasar perempuan, tidak rumah sendiri, di jalan, di tempat kerja, di mana pun kita bisa menjadi korban.
Namun, tanpa kita niatkan, seringkali kita justru menyalahkan korban, alih-alih mau lebih banyak mendengar dan memberi dukungan moral yang sangat mereka butuhkan. Buku ini akan sangat membantu kamu dalam memahami keberagamaan pengalaman perempuan dan tantangan apa saja yang mereka hadapi, baik dalam rumah tangga maupun konteks sosial yang lebih luas lagi. (*/)