Books

DAMAR KAMBANG: BELENGGU TRADISI TERHADAP TUBUH PEREMPUAN

Muna Masyari menyingkap wajah kusam belenggu pernikahan dini berkedok tradisi dan harga diri laki-laki yang meminggirkan perempuan. Pernikahan seorang gadis perempuan tidak lain hanyalah transaksi layaknya karapan sapi.

title

FROYONION.COM - Di usia yang ke-14 tahun, Cebbhing tidak pernah menyangka bahwa ia akan dinikahkan oleh bapaknya. Usia saat sewajarnya gadis muda ingin bermain bersama teman dan menikmati hal-hal menyenangkan. Namun, tradisi dan kultur budaya yang begitu kuat tidak dapat ia lawan. Sampai pada akhirnya, nasib malang menimpa Cebbhing dan merenggut seluruh hidupnya. 

Muna Masyari adalah penulis perempuan Indonesia yang kerap menyoroti isu sosial khususnya di masyarakat Madura. Baik dalam novel maupun kumpulan cerpennya, ia sering mengangkat Madura sebagai latar belakang dengan dinamika kehidupan masyarakat desa yang patriarki dan konservatif.

Dalam masyarakat desa yang tidak terlalu terekspos dengan dunia luar, pernikahan dianggap sebagai tujuan final. Banyak perempuan remaja yang memang sudah dijodohkan sejak kecil agar bisa segera menikah dan berumah tangga. Pernikahan dijadikan tujuan hidup dan lambang kesempurnaan kehidupan individu sebagai bagian dari masyarakat.

BACA JUGA: 3 JURUSAN YANG COCOK BAGI YANG BERCITA-CITA MENJADI NOVELIS

Pernikahan juga seringkali dijadikan solusi masalah. Ketika terdapat pihak keluarga yang memiliki hutang misalnya, maka keluarga akan menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki pihak lawan tanpa meminta persetujuan si perempuan. Suara perempuan dianggap tidak perlu dan cukup diwakilkan oleh laki-laki saja.

Hal ini pula yang terjadi pada Cebbhing, ketika dirinya hendak dinikahkan oleh laki-laki yang tidak diinginkan. Ia terjebak dalam pergulatan kehidupan yang diakibatkan oleh keputusan-keputusan dari orang tuanya, khususnya bapaknya. Cebbhing tidak lain diperlakukan layaknya karapan sapi yaitu hanya sebagai alat transaksi.

Dalam tradisi, pernikahan baru dinyatakan sah ketika tahap demi tahap berhasil dilalui. Tradisi ini melambangkan bahwa kehidupan pernikahan tidaklah mudah dan penuh dengan tanggung jawab. Kedua pengantin harus melewati rintangan satu persatu agar bisa melangsungkan pernikahan dengan lancar dan terhindar dari bala.

Namun, seperti yang kita tahu, ada banyak hal yang dapat membuat prosesi pernikahan menjadi begitu tegang. Termasuk untuk hal-hal yang tampak sederhana sekalipun. Ketika pihak pengantin pria datang ke rumah Cebbhing, mereka tidak membawa hantaran. 

Biasanya hantaran berupa barang-barang yang bernilai tinggi. Ini juga merupakan ajang untuk unjuk gigi status keluarga. Dari sinilah konflik dimulai. Bapak Cebbhing tidak terima dan beranggapan bahwa ini merupakan suatu penghinaan. Ia menolak pernikahan dan memutuskan untuk menghentikan semuanya saat itu juga.

Pihak orang tua pengantin pria merasa sakit hati dan tidak terima. Ini juga penghinaan bagi mereka. Kedua pihak orang tua tersebut saling tersulut satu sama lain sehingga mengabaikan peran mereka sebagai orang tua yang seharusnya mengantarkan anak-anaknya menuju pelaminan. 

Bapak Cebbhing bersikukuh bahwa dirinya sebagai orang tua tidak akan melepaskan anak gadisnya untuk lelaki yang tidak membawa rumah. Hal ini sama saja dengan membiarkan putrinya tinggal di sangkar.

Di sini kita bisa melihat bahwa maskulinitas dan egosentris dari pihak orang tua khususnya bapak sangat dominan. Terutama dari pihak bapak Cebbhing yang cenderung memikirkan harga diri dan tradisi ketimbang nasib putrinya sendiri. Bahwa ia tidak menyadari jika yang menjadi korban paling berat dari ini semua adalah Cebbhing.

Cebbhing tidak hanya kehilangan kebebasannya sebagai individu dengan pernikahan atas kehendak bapaknya, namun juga kekuatan sihir yang menghajar habis tubuhnya sampai harus dipasung dan dikurung. 

Hampir setiap hari Cebbhing mengalami gejolak emosional yang tidak karuan, mimpi buruk sepanjang malam dan kabur dari rumah. Sedangkan sang bapak tetap bersikeras bahwa ia akan membalas ini semua.

Judul dari novel ini, “Damar Kambang”, merupakan simbol harapan pernikahan. Nyala api ibaratkan sebagai kehidupan rumah tangga yang harus terus bertahan dengan kekuatan kedua belah pihak yaitu, suami dan istri. Dalam kepercayaan tradisi, jika api itu padam, maka ini merupakan pertanda buruk untuk pernikahan tersebut. 

Novel Damar Kambang karya Muna Masyari.

Melalui karyanya ini, Muna Masyari menyingkap wajah kusam tradisi pernikahan Madura yang menjunjung tinggi harga diri dan martabat dengan simbol-simbol kebendaan di atas segalanya. 

Dan lagi-lagi, yang menjadi korban dari belenggu tradisi ini tidak lain adalah perempuan. Tidak ada tokoh lain yang bisa membantu Cebbhing termasuk ibunya sendiri. Karena segala keputusan ada pada penguasa tunggal yaitu bapaknya. 

Praktik diskriminasi dan eksploitasi terhadap perempuan memang langgeng terjadi di masyarakat pedesaan. Tidak hanya melalui tradisi, namun tafsir agama, institusi pendidikan dan didikan keluarga juga turut melestarikan budaya patriarki yang membuat perempuan kehilangan kebebasannya. 

Jika kamu tinggal di sistem masyarakat desa yang diskriminatif, pasti kamu pernah mendengar cerita anak-anak perempuan yang dinikahkan bahkan sebelum mereka berusia 18 tahun. 

Praktik ini terus dijalankan dan diperkuat dengan kultur masyarakat berkedok “menjaga tradisi leluhur”. Perempuan selalu dikorbankan untuk kepentingan laki-laki yang menjadi tonggak penguasa atas segalanya: kekuasaan, martabat, dan harta.

Dari sini kita bisa lihat juga bahwa perempuan dianggap bukan bagian dari masyarakat. Ia bukan manusia yang memiliki hak, suara, dan kebebasan. Perempuan ditempatkan sebagai objek transaksi untuk memberi kepuasaan bagi pihak-pihak tertentu. 

Kita juga bisa tahu bahwa Cebbhing adalah satu dari sekian banyak cerita di seluruh pelosok Indonesia yang mengalami marginalisasi oleh keluarga dan masyarakatnya sendiri. 

Kemajuan peradaban dan teknologi ternyata tidak menjamin nasib perempuan akan lebih baik. Bahkan di era yang katanya sudah modern ini, dengan jargon-jargon digitalisasi yang selalu berseliweran di mana-mana, praktik pernikahan dini berkedok budaya atau agama masih terjadi sampai hari ini. Baik di Indonesia maupun negara dunia ketiga lainnya, praktik ini lestari dan diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. 

Berkat kepiawaian Muna Masyari dalam merangkai alur, dialog dan plot yang menegangkan dan mengalir, buku ini masuk dalam daftar 5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2021 Kategori Prosa. Cerita yang berakar dari kehidupan masyarakat bawah yang jauh dari hiruk pikuk kota adalah suara yang perlu kita dengar dan refleksikan bersama. Kalau kamu, apakah kamu juga pernah mendengar cerita yang sama? (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Sekar Jatiningrum

Penulis lepas sekali yang suka mendengarkan musik sampai ketiduran.