Buku ‘Kepikiran Dangdut dan Hal-hal Pop Lainnya’ berisikan esai-esai dari Mahfud Ikhwan. Seperti judulnya, tulisan di dalamnya banyak membahas musik dangdut, utamanya Rhoma Irama.
FROYONION.COM - Sejak mengetahui kumpulan esai karya Mahfud Ikhwan yang membahas banyak hal soal musik dangdut dan diberi judul Kepikiran Dangdut dan Hal-hal Pop Lainnya; saya agak berharap jika si penulis ingin mengadakan diskusi untuk membahasnya, sudah semestinya ia menjadikan Surabaya sebagai salah satu tujuannya. Atau setidaknya salah satu kota di Jawa Timur.
Di Jawa Timur, Surabaya salah satunya, adalah tempat musik dangdut banyak diterima. Bahkan tak hanya diterima, melainkan juga dirayakan dan mengisi keseharian masyarakat kelas akar rumput.
Sama banyaknya dengan jumlah warung kopi (warkop) murah meriah di Surabaya, sesering dan sebanyak itulah musik dangdut diperdengarkan di sini.
Meskipun yang paling banyak diputar adalah dangdut-dangdut koplo dengan musiknya yang ‘berbahaya’ (dari sinilah seruan ‘gak bahaya ta?’ awal dipopulerkan dan ramai di media sosial). Karena kemampuan musik ini dalam mengajak orang berjoget, juga goyangan erotis dari biduan yang bikin pikiran para lelaki travelling.
Pada diskusi buku Kepikiran Dangdut yang digelar di perpustakaan independen C2O, selain menghadirkan Mahfud Ikhwan sebagai narasumber utamanya, ada juga Rima Firdaus yang merupakan dosen FIB Unair yang meneliti soal dangdut.
Diskusi dibuka dengan kedua narasumber berbagi pengalaman bagaimana mereka mengenal musik dangdut.
Bagaimana si penulis yang akrab dipanggil Cak Mahfud ini mencoba mendengarkan musik di luar dangdut yang tengah trend di kalangan temannya di Jogja, namun ujung-ujungnya tetap kembali ke dangdut.
Pada sesi ini ditampilkan slide Power Point yang menjelaskan perkembangan dangdut dari masa ke masa. Nama-nama populer di dangdut muncul. Selain Rhoma Irama, ada juga A. Rafiq, Denny Caknan, Nassar hingga Lesti.
Di sana juga dijelaskan upaya-upaya untuk mempopulerkan (dan mempertahankan) dangdut lewat audisi penyanyi dangdut di televisi. Dari slide yang dibagikan itu jugalah saya baru mengetahui ada upaya mengawinkan dangdut dengan Kpop.
Hasilnya adalah suara gendang yang sayup-sayup dan nyaris tenggelam di antara dentuman musik Kpop. Beruntung si penyanyi punya cengkok dangdut yang bisa diraba oleh kuping.
Diskusi berlangsung menyenangkan dan memaksa moderator menambah durasi. Dari yang direncanakan tuntas pada 20.30 WIB, harus molor hingga 21.00 WIB.
Cukup mengejutkan ketika mengetahui bahwa pembahasan soal dangdut bisa merembet ke dinamika politik, isu gender dan kelas sosial, hingga bagaimana musik dangdut menolak mati dan sifatnya untuk melawan.
Meski utamanya membahas musik dangdut, buku Kepikiran Dangdut disebut oleh penulisnya sebagai sebuah autobiografi.
Di dalamnya pembaca akan menemukan identitas Mahfud Ikhwan diselipkan juga alasan kenapa ia lebih relate pada musik dangdut dan film India dibandingkan lagu dan film yang dianggap keren di masa itu.
“Tulisan di dalam buku ini lebih menjelaskan saya, dibandingkan saya menjelaskan mereka,” kata Cak Mahfud.
Tak sekadar menjelaskan latar belakang penulisnya, tulisan-tulisan di dalam buku ini juga membeberkan dilema-dilema dan keresahan yang dirasakannya, terutama yang ada kaitannya dengan dangdut dan Rhoma Irama.
Salah satu tulisan yang kemudian menjadi judul buku ini misalnya, membahas dilema yang dirasakan Cak Mahfud ketika harus menghadapi dangdut koplo di bus antarkota Surabaya-Bojonegoro.
Dalam tulisan itu ia menyiratkan bahwa dangdut koplo bukanlah dangdut yang akan disukainya. Namun, di sisi lain, ia juga menunjukkan beberapa poin bagaimana ia tidak bisa membenci sepenuhnya musik dangdut koplo atau menganggapnya bukan bagian dari dangdut.
Cak Mahfud menceritakan bagaimana perasaannya campur aduk ketika mendengarkan salah satu biduan legendaris dangdut, Rita Sugiarto menyanyikan lagu dangdut dengan irama koplo yang bertempo cepat itu.
“Seperti sedang mendapati Kuntowijoyo menulis LKS Sejarah. Mungkin bukan tindakan hina, tapi itu jelas bunuh diri kelas yang habis-habisan. Saya tidak rela,” tulisnya dalam esai Kepikiran Dangdut.
Dalam buku ini juga terdapat tulisan yang berisi kekhawatiran si penulis soal bagaimana masa depan dangdut, mengingat sang Raja Dangdut, Rhoma Irama, semakin menua namun hingga saat ini belum ada pertanda bahwa tahtanya akan tergantikan.
Selain membahas banyak hal yang bersinggungan dengan dangdut, antologi ini juga membahas lainnya, seperti band Sheila On 7, Denny Caknan dkk yang dianggap sebagai penerus pop-pop cengeng, hingga soal kebudayaan.
Dalam diskusi Cak Mahfud menyebut bahwa musik dangdut adalah anak haram kebudayaan. Ia ditolak, namun kemudian menjadi besar dan tidak terkendali.
Dijelaskan bahwa dangdut lahir mula-mula di tempat paling kumuh dan suram bernama Planet Senen Jakarta. Sebuah tempat yang diisi oleh pedagang asongan, bajingan, tukang copet, pelacur dan seniman yang gagal.
Rhoma Irama bersama Soneta-nya, membawa dangdut naik kelas dan menjadikannya lebih bermartabat. Di tangan Sang Raja, dangdut dinyanyikan dengan elegan dan sopan.
Dari ini tak sulit menemukan alasan mengapa kebanyakan penyuka dangdut era Rhoma Irama tidak menyukai bahkan menolak dangdut koplo.
Bukan sekadar penurunan kelas melainkan juga dangdut koplo mengembalikan musik ini di tempat ia lahir dan tumbuh.
Meski tak banyak lagu yang dihasilkan dari dangdut koplo, dari genre musik ini lahirlah lagu-lagu dengan kesan erotis. Seperti lagu Nyidam Pentol, Wedus, Bukak Sithik Joss, dan lain sebagainya.
Bu dosen Rima Firdaus mengamini adanya isu gender dalam musik dangdut dan menyayangkan bagaimana tubuh perempuan dijadikan objek tontonan dalam lagu-lagu itu.
Pencipta lagu yang didominasi kaum lelaki membuat dangdut punya sisi maskulin yang kuat dan punya kecenderungan untuk menjadi patriarkis.
Di lain sisi Cak Mahfud membagikan pandangannya soal fenomena kelahiran musik dangdut koplo dan lagu-lagu semacam itu.
“Lagu-lagu semacam ini hanya bisa lahir di musik dangdut. Kita bisa menemukan lagu dengan lirik: ‘Pak hakim dan pak jaksa, kapan saya disidang?’ hanya di dangdut,” kata penulis novel Dawuk tersebut.
Ia lalu menambahkan bahwa dangdut pada dasarnya adalah musik milik orang-orang yang kalah. Mereka menyuarakan ketidakberdayaan mereka menghadapi sesuatu yang besar lewat nyanyian lagu dangdut.
Selain itu, Cak Mahfud juga mengungkapkan bahwa lahirnya dangdut koplo itu merupakan bagian dari sifat musik dangdut itu sendiri yang berusaha untuk relevan agar bisa terus hidup dan suka melakukan perlawanan kecil-kecilan.
“Musik dangdut punya kecenderungan melakukan perlawanan kecil-kecilan seperti itu. Mereka penurut namun di lain waktu kemudian membelot,” kata Cak Mahfud.
“Bisa saja dangdut koplo yang dibawakan oleh Sodik misalnya, merupakan bentuk perlawanan pada dangdutnya Rhoma Irama yang elegan dan penuh kesopanan,” imbuhnya.
Pernyataan ini sepertinya ada benarnya juga. Mengingat dangdut koplo punya ekspresi tunggal yang hanya senang melulu di setiap lagu yang dibawakannya untuk membuat pendengarnya berjoget tanpa peduli mau sedih atau marah atau gembira.
Perlawanan ini misalnya juga tampak pada salah satu lagu dangdut koplo yang berjudul Pokok’e Joget. Lirik lagunya yang mengatakan: “Tak penting penyanyinya, tak penting penciptanya, yang penting joget saja.” secara tak langsung menjelaskan itu.
Ia seolah tak hanya menolak keteraturan nada yang ada dalam dangdutnya Rhoma Irama lewat musik mereka yang campur aduk dan tempo yang terkesan berantakan, melainkan juga menganggap bahwa dangdut semestinya tidak terikat dan bebas.
Biarpun hal ini tak diakui secara tegas oleh ‘aktor-aktor’ dangdut koplo seperti Sodik misalnya, namun cara mereka bermusik mencerminkan hal tersebut.
Dangdut bersama Rhoma Irama pernah menjadi bagian dari dinamika politik di Indonesia pada era Orde Baru.
Pada masa itu misalnya Rhoma Irama mendaku sebagai sound of moslem dan kemudian banyak menghasilkan lagu-lagu dakwah.
Bahkan Rhoma Irama juga pernah membuat lagu dangdut yang berisikan kritik pada pemerintah Orde Baru yang dianggap membatasi Islam.
Setelah Rhoma Irama akhirnya bergabung dengan Golkar, dangdut mendapat tempat istimewa di pemerintahan. Dangdut kemudian diakui sebagai musik “resmi” Indonesia oleh pejabat-pejabat Orde Baru saat itu seperti Habibie dan Moerdiono.
Namun setelah runtuhnya Orde Baru, era keemasan musik dangdut pun mulai luntur. Kemudian lambat-laun muncullah dangdut koplo dan jenis dangdut lainnya yang berbeda dengan milik Rhoma Irama.
Meski begitu populer saat ini, bagi Cak Mahfud, dangdut koplo bukanlah masa depan bagi musik dangdut. Melainkan hanya sebagai salah satu cara agar dangdut tetap hidup atau istilahnya penyambung nafas belaka.
Ketika ditanya soal dangdut seperti apa yang bisa dikatakan sebagai masa depan musik dangdut, Cak Mahfud menjawab dengan kelakar, “Sebetulnya saya hanya kepikiran dan tidak mau terlalu memikirkannya.”
Cak Mahfud lalu menjelaskan bahwa ia skeptis dengan itu namun di lain sisi juga apatis.
“Jika pada akhirnya dangdut berakhir cukup di legenda-legenda dangdut itu, sebagaimana musik keroncong, saya akan menerimanya.”
Melalui tulisan-tulisan dalam buku Kepikiran Dangdut, selayaknya semua fans di seluruh dunia, sebetulnya Cak Mahfud ingin orang lain mengetahui dan mengenal orang-orang hebat yang ada dalam dangdut. Juga tentunya musik dangdut itu sendiri. Dan kiranya keinginan itu saya rasa telah tertunaikan. (*/)