Pembakaran buku karya Najwa Shihab di Indonesia mencerminkan fenomena bibliophobia yang lebih luas, yaitu ketakutan ekstrem terhadap buku dan gagasan kritis yang dianggap mengancam.
FROYONION.COM - Beberapa bulan terakhir, Indonesia dikejutkan oleh peristiwa pembakaran buku karya Najwa Shihab.
Buku yang memuat opini dan gagasan-gagasan kritis ini dianggap “berbahaya” oleh sekelompok individu, yang akhirnya memutuskan untuk membakarnya sebagai bentuk protes.
Pembakaran buku seperti ini bukan sekadar tindakan vandalisme, namun melambangkan bentuk kekerasan simbolis terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan pers yang semakin terancam.
Tak hanya itu, peristiwa ini juga menyingkap sisi lain dari masyarakat kita yang masih mengalami ketakutan atau ketidaknyamanan terhadap buku, yang dalam psikologi dikenal dengan istilah bibliophobia.
Bibliophobia, dalam bahasa yang lebih sederhana, adalah ketakutan atau kecemasan berlebihan terhadap buku. Kata ini berasal dari bahasa Yunani, “biblio” yang berarti buku, dan “phobia” yang berarti takut.
Bibliophobia dapat memanifestasikan diri dalam berbagai bentuk, mulai dari ketidakmampuan seseorang untuk membaca buku, hingga merasa tidak nyaman di perpustakaan atau toko buku.
Ketakutan tersebut pun bisa berujung hingga kalian mengalami gejala fisik seperti jantung berdebar, pernapasan cepat, berkeringat, mulas, mulut kering, dan gemetar saat berhadapan dengan buku atau tempat yang penuh dengan bacaan.
BACA JUGA: MENANTANG NORMA SOSIAL DALAM BUKU ‘THE SATANIC VERSES’ DAN ‘HUCKLEBERRY FINN’
Penyebab bibliophobia beragam, dari peristiwa traumatis yang melibatkan buku atau membaca, hingga faktor genetik dan psikologis yang mendasarinya.
Bibliophobia dapat menyebabkan seseorang merasa terancam oleh buku atau konten yang ada di dalamnya. Meskipun fobia ini jarang dibicarakan, dampaknya nyata, terutama dalam masyarakat yang mengedepankan kebebasan berpikir dan kebebasan berbicara.
Ketakutan atau ketidaknyamanan terhadap literasi dan buku dalam bentuk ekstrem bisa jadi turut berperan dalam peristiwa pembakaran buku karya Najwa Shihab.
Tindakan tersebut bukan sekadar aksi untuk menghancurkan objek fisik, tetapi mencerminkan sebuah sikap ketidaksetujuan dan ketakutan terhadap ide-ide yang ada di dalamnya.
Dalam kasus ini, bibliophobia mungkin tidak langsung menjadi penyebab, namun bisa menjadi faktor yang memperkuat sikap anti-literasi yang semakin marak.
Indonesia, seperti negara lainnya, memiliki sejarah panjang dalam menghadapi tantangan kebebasan pers dan literasi. Pembakaran buku adalah salah satu bentuk upaya membungkam atau memblokir akses terhadap pengetahuan dan informasi tertentu, yang dinilai “berbahaya” atau “mengancam.”
Di balik tindakan semacam ini, bibliophobia, atau ketakutan terhadap ide atau gagasan yang berbeda, bisa menjadi pemicu atau setidaknya memperparah respons negatif tersebut. Hal ini juga menunjukkan adanya keengganan sebagian masyarakat untuk menerima gagasan-gagasan yang berbeda atau kritis.
Peristiwa pembakaran buku Najwa Shihab tidak berdiri sendiri. Tindakan ini merupakan bagian dari rangkaian panjang kekerasan terhadap wartawan dan media di Indonesia.
Data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat setidaknya 57 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media sepanjang tahun 2024, termasuk serangan bom rakitan terhadap kantor media Jubi di Papua.
Hal ini menunjukkan adanya pola kekerasan dan ancaman yang semakin sistematis terhadap jurnalis dan pihak-pihak yang berani mengungkapkan suara kritis.
Dampak dari bibliophobia ini tidak hanya terbatas pada tindakan anti-literasi, tetapi juga meluas pada pembatasan kebebasan berekspresi.
Ketika buku atau ide tertentu dianggap “mengancam” atau “mengganggu” dan harus “dimusnahkan,” ini bukan lagi tentang rasa takut pribadi terhadap buku, melainkan rasa takut yang dikonstruksi dan dipelihara oleh kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.
Bibliophobia dalam konteks ini menjadi senjata untuk menciptakan ketakutan kolektif terhadap literasi dan media, yang akhirnya membatasi ruang untuk diskusi publik yang sehat.
Melawan bibliophobia dalam konteks masyarakat bukanlah tugas yang mudah. Di sinilah pentingnya peran pendidikan literasi sejak dini dan pembentukan sikap terbuka terhadap berbagai macam bacaan dan gagasan.
Pendidikan literasi bukan hanya soal kemampuan membaca, tetapi juga mengajarkan siswa untuk menghargai perbedaan pendapat, berpikir kritis, dan memahami bahwa buku adalah sarana untuk memperluas wawasan, bukan ancaman yang harus dihindari.
Selain itu, penting untuk memastikan bahwa masyarakat memiliki akses yang mudah dan terbuka ke perpustakaan, toko buku, dan platform literasi digital. Membiasakan orang untuk berinteraksi dengan buku, baik dalam konteks pendidikan formal maupun non-formal, dapat membantu mengurangi ketakutan yang mungkin ada.
Edukasi publik juga bisa dilakukan melalui kampanye literasi dan dukungan dari pemerintah serta lembaga non-pemerintah yang memiliki komitmen terhadap kebebasan berpendapat.
Menangani bibliophobia membutuhkan pendekatan yang sistematis, dimulai dari pendidikan literasi yang efektif, dukungan untuk kebebasan berpendapat, serta penegakan hukum yang tegas terhadap tindakan kekerasan terhadap jurnalis dan media.
Hanya dengan cara ini, kita dapat menciptakan masyarakat yang tidak hanya bebas dari ketakutan terhadap buku, tetapi juga dari rasa takut untuk berbicara dan berpikir secara kritis. (*/)