Sedang mencari buku non-fiksi tentang kehidupan yang ringan untuk dibaca? Kamu bisa baca buku Mulai Mengerti karya Edward Suhadi, tapi sebelum itu mari bedah bukunya dan baca ulasannya di sini.
FROYONION.COM - “Hidup ternyata (tidak) semudah itu,”
adalah kalimat pertama yang saya keluarkan ketika memasuki usia 25+ dan mulai memasuki apa yang orang sebut quarter life crisis.
Sewaktu kecil, saya tidak sabar menantikan masa-masa kuliah pakai baju bebas, lalu bermimpi kerja kantoran di dalam gedung-gedung yang tinggi. Asyik memang bermimpi kala itu.
Tapi, selepas lulus kuliah dan harus mulai memutuskan apa-apa sendiri, saya mulai menyadari kalau dunia yang sesungguhnya baru di mulai dan ternyata berbeda dari bayangan saya dulu. Semuanya terasa sulit, membingungkan, dan clueless.
Kurangnya support system mau tidak mau membuat saya harus belajar menemukan makna kehidupan dan menjalaninya sendiri. Sarana belajar saya biasanya bisa dari TedTalks, Mario Teguh, Podcast, sampai baca buku-buku non-fiksi dari yang berat sampai yang ringan.
Ngomongin soal buku, salah satu buku non-fiksi yang akan saya rekomendasikan buat kamu adalah buku Mulai Mengerti yang ditulis oleh Edward Suhadi dan akan segera kita bedah di bawah ini.
Buku ini adalah buku non-fiksi yang akan berbicara banyak soal kehidupan. Silahkan baca buku ini kalau kamu:
1. Sedang memasuki masa quarter life crisis (jika bukan pun tidak masalah).
2. Cukup open minded dan bersedia menerima masukkan.
3. Memang punya niat untuk memperbaiki diri.
4. Merasa bingung dengan karir, hubungan sosial dengan teman, dan percintaan.
Tak kenal maka tak sayang, maka sebelum membedah bukunya, mari kita berkenalan singkat dengan seseorang dibalik suksesnya buku ini yaitu Edward Suhadi.
Sekarang ini Ko Edward (begitu panggilan akrabnya) aktif berkarya menjadi seorang Creative Director di sebuah storytelling agency bernama Ceritera. Sebelum sampai pada posisinya ini, dia pernah mengenyam pendidikan sebagai mahasiswa desain grafis di FSRD Trisakti. Ia juga pernah menggeluti dunia wedding photographer dan videographer. Jika ditarik garis lurus, profesinya saat ini memang kumpulan dari berbagai kesukaan yang sudah ia lakukan sejak dulu.
Ko Edward juga ternyata seorang aktor lho, ia pernah muncul di film Cek Toko Sebelah sebagai Aming. Adakah kamu yang menyadari kemunculannya di film itu?
Walaupun saya seorang penggemar buku non-fiksi, tapi menurut saya membaca buku-buku seperti itu kadang melelahkan. Pembahasan dan bahasanya cenderung berat dan sulit dimengerti, sehingga kita jadi lama dan menunda-nunda untuk membacanya.
Sedikit berbeda, buku ini memang ditulis untuk orang-orang yang tidak suka membaca buku: “Dibuat lebih ringan seperti sedang makan snack,” kata Ko Edward dalam sebuah wawancara.
Saya akui memang betul. Bahasa yang dipakai lebih ringan karena disusun dengan kata-kata sehari-hari layaknya bercerita ke teman sebaya. Tanpa perlu membuka KBBI pun, kita pasti sudah tau makna dan arah tulisannya ke mana. Saking ringannya, saya yakin kamu akan menghabiskan buku ini dengan cepat.
Selain pembawaan storytelling-nya yang sangat mengalir, buku ini juga disisipi foto-foto, gambar, serta typography, sehingga proses membaca tidak monoton.
Buku ini terinspirasi dari kegelisahan Ko Edward yang merasa bahwa hidup itu keliatannya acak, tidak beraturan, dan tidak terpecahkan, padahal sebetulnya tidak seperti itu. Mirip seperti rubik, walaupun acak, tapi ia percaya bahwa hidup juga punya rumus dan bisa dipelajari.
Tertuang dalam 5 bab (dan 5 tema) yang cukup mewakili bagian besar dalam hidup kita, mari kita ulas 3 bab favorit saya.
Pada bab ‘Setengah Kosong, Setengah Isi’, saya mendapat tamparan yang keras di bab pembuka ini. Misalnya, saya termasuk orang yang gampang mengeluh & menyalahkan orang lain apalagi terhadap sesuatu yang terjadi di luar harapan atau keinginan saya.
Dari contoh ini, kalau kata Ko Edward, sebenarnya bukan dunia yang menyebalkan. Kitanya saja yang terbiasa mengeluh atas segala hal. Seperti kebiasaan-kebiasaan lainnya, kebiasaan buruk juga awalnya hanya dilakukan sesekali sampai akhirnya menjadi rutinitas dan menjadi habit kita. Keluhan kecil itu berubah menjadi rutinitas dan kebiasaan buruk.
Terbiasa mengeluh membuat kita lupa caranya bersyukur. Hidup memang berisi banyak masalah, tapi kita juga diberi kesempatan untuk menyelesaikannya satu per satu dibanding sibuk mengeluh dan menyalahkan keadaan.
Bab selanjutnya, ‘Kerja Tidak sengsara’. Bab ini banyak mengubah perspektif saya tentang pekerjaan dan hubungan sosial dengan orang-orang di lingkungan kerja. Di bab ini juga, ada tulisan spesial tentang tips menangani stress yang dibuat sampai 3 cerita yang berbeda.
Setelah membaca bab ini, saya langsung flashback ke masa-masa saat saya masih bekerja dulu dan sedikit menyesal kenapa tidak menemukan buku ini lebih awal. Walaupun begitu, sekarang disaat saya menjadi pengangguran, saya merasa jadi lebih siap untuk bekerja dengan benar, cerdas, gigih, dan berani seperti yang diajarkan di bab ini.
Bagian terakhir yang menjadi favorit saya yaitu ‘Bahagia adalah Isi Kepala’. Di bab ini, Ko Edward memberikan perspektif kalau bahagia itu bukan seberapa banyak uang kita, bukan seberapa banyak yang kita punya.
Kedengarannya mungkin klise, tapi dia bercerita demikian karena sudah pernah mengejar hidup seperti orang-orang produktif dan terkenal lainnya. Menurutnya, kebahagiaan yang sebenarnya adalah ketika kita berhenti mengejar dan mulai bersyukur atas hal-hal kecil yang kita dapat setiap harinya.
Itulah tiga bab favorit saya. Walaupun yang dibahas hanya tiga, bukan berarti bagian yang lain tidak bagus. Sulit sekali bagi saya memilihnya, rasanya ingin diceritakan semua. Tapi, tidak seru kan rasanya kalau kita bahas semua di sini?
Untuk itu, saya ingin kamu membacanya secara utuh untuk menemukan cerita favoritmu sendiri. Setelahnya, coba bagikan pengalaman bacamu di kolom komentar ya! (*/)