Produk kecantikan jaman sekarang udah kayak fast fashion aja ya..
FROYONION.COM Produk kecantikan belakangan ini memang sudah melekat atau sudah jadi makanan sehari-hari bagi sebagian orang, terutama wanita. Entah itu skincare, body care, hair care, kosmetik, dan sejenisnya. Bisa dikatakan produk kecantikan sekarang ini menjadi kebutuhan primer bagi beberapa orang.
Namun, kalian merasa nggak sih, kalau belakangan ini produk kecantikan tuh udah kayak fast fashion? Banyak brand baru bermunculan, banyak produk yang rilis setiap bulan, banyak varian yang bikin kita makin bingung mau beli yang mana, dan masih banyak lagi. Fenomena ini disebut fast beauty.
Selayaknya fast fashion yang selalu berinovasi dalam waktu singkat, industri kecantikan juga melakukan hal yang sama. Proses produksinya cenderung cepat dan dalam jumlah yang banyak. Selain itu, brand kompetitor lain akan mengeluarkan produk yang sama.
Sebagai contoh brand Somethinc. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa Somethinc adalah salah satu produk lokal yang mempelopori serum dengan bahan aktif yang beragam. Ada serum niacinamide, retinol, bakuchiol, hyaluron, dan masih banyak lagi. Ini menyebabkan brand kompetitor lain juga melakukan hal yang sama.
Brand kosmetik lebih parah lagi. Dengan adanya perubahan trend dan banyaknya brand baru yang bermunculan, akhirnya beberapa brand jadul semakin susah dicari. Bahkan ada beberapa barang yang sudah discontinue, salah satunya merk Carring Colour. Kenapa bisa begitu?
BACA JUGA : KENAPA SIH SKINCARE LOKAL SERINGKALI LEBIH MAHAL DIBANDING SKINCARE IMPOR?
Banyak faktor yang memengaruhi fenomena ini, salah satunya modal produksi yang terbilang murah. Sekarang ini, dengan modal dibawah 50 juta, kalian bisa membuat produk kecantikan kalian sendiri. Harga tersebut sudah termasuk biaya registrasi BPOM, pengajuan merk, pembuatan desain, sampel produk, bahkan juga foto dan video produk.
Selain itu, trend kecantikan dari luar negeri juga memengaruhi perkembangan industri kecantikan dalam negeri, terutama produk kosmetik. Seperti cushion yang banyak shade-nya, jenis eyebrow yang beragam, formula lipstik yang terus berkembang seiring berjalannya waktu, dll.
Di tahun 2017, jumlah kosmetik yang terdaftar di BPOM hanya 16 ribuan produk, sedangkan di tahun 2021 mencapai 85 ribuan produk. Kalian pasti ngerasain kan, kalau belakangan ini banyak brand kecantikan yang rilis produk baru? Banyak juga influencer atau beauty enthusiast yang memperkenalkan produk baru tersebut, bahkan seminggu bisa upload banyak review.
Hal ini dapat memicu banyak permasalahan lingkungan, salah satunya tidak terkontrolnya sampah produk kecantikan yang membludak akibat konsumsi yang berlebihan. Apalagi sampah ini terbuat dari bahan yang susah diurai seperti plastik.
Butuh puluhan hingga ratusan tahun untuk mengurainya, sedangkan tidak semua brand kecantikan mau mengelola sampah dari produk mereka. Selain itu, sampah kosmetik yang hanya berakhir di TPA akan mengeluarkan zat-zat berbahaya jika tidak segera didaur ulang atau dimusnahkan. Kalian bisa melihat liputan di bawah ini untuk tau lebih lanjut.
Selain sampah yang susah diurai, rilisan produk baru yang muncul setiap bulan ini juga merugikan brand lainnya maupun konsumen setia. Misalnya kalian suka produk kosmetik X karena cocok seperti apa yang kalian inginkan. Namun, karena trend yang terus berganti, produk X ini makin lama makin susah dicari dan akhirnya sudah tidak diproduksi lagi.
Pastinya hal ini akan mengecewakan kalian yang sudah setia dengan produk kosmetik X. Sebagai pemilik brand juga rugi karena kehilangan konsumen setia mereka akibat mengikuti trend dan kemauan konsumen yang musiman ini.
BACA JUGA : PEREMPUAN PENYUMBANG SAMPAH TERBANYAK DI DUNIA?
Konsumsi produk kecantikan sekarang ini memang tidak bisa dihindari. Menerapkan gaya hidup yang ramah lingkungan sepenuhnya juga tidak bisa karena pasti ada aja peran plastik di kehidupan kita. Namun, kita bisa memulainya dari diri kita sendiri dengan mengonsumsi produk tersebut secukupnya saja.
Kita juga bisa mengurangi penggunaan produk kecantikan yang berbentuk botol dengan membeli produk refill atau isi ulang. Selain itu, kita juga bisa mengontrol kemana arah sampah produk kecantikan kita ke tempat daur ulang, salah satu contohnya di Waste4Change.
Peran pemerintah juga sangat dibutuhkan terkait hal ini, apalagi BPOM. BPOM diharapkan bisa lebih memperketat aturan produksi kosmetik. Selain itu, kemenkumham dan DJKI juga bisa memperketat lagi syarat permohonan pendaftaran merk dagang.
Ini juga berlaku bagi brand produk kecantikan yang sudah ada dengan cara tidak merilis produk lebih sering. Brand produk kecantikan yang sudah ada ini juga bisa menerapkan daur ulang seperti yang dilakukan brand lainnya. Bisa juga dengan cara mengupgrade ingredient produk yang sudah ada agar produknya tidak discontinue dan mengecewakan konsumen yang sudah setia dengan produk tersebut.
Persis seperti apa yang dilakukan oleh salah satu brand jadul bernama Marcks. Brand yang satu ini sudah ada sejak 1971 dan masih eksis sampai sekarang. Di tengah gempuran trend kosmetik yang merajalela, Marcks masih mempertahankan produknya yang hanya itu-itu saja.
Mereka hanya merambah produk skincare dan kosmetik khusus remaja bernama Marcks Teens. Pastinya produk yang dikeluarkan hanya basic skincare aja dan tidak terlalu banyak varian karena memang diperuntukkan untuk remaja.
Solusi lainnya yaitu maklon atau penyedia pembuatan produk kecantikan juga diharap bisa berkomitmen dengan jasa yang mereka punya, agar para produsen ini tidak ikut serta merusak lingkungan. Karena limbah yang dikeluarkan pabrik ini juga dapat merusak lingkungan.
Influencer juga sangat memengaruhi perkembangan industri ini. Para influencer ini bisa juga mengenalkan gaya hidup eco friendly ke masyarakat luas dengan cara membuat konten tentang daur ulang sampah produk kecantikan yang sudah mereka review sebelumnya. Apalagi influencer beauty enthusiast yang ada di TikTok. Ini akan meracuni anak muda lainnya untuk melakukan gaya hidup yang sama.
Boleh kok produk kecantikan ini kalian jadikan kebutuhan primer, tapi harus tau bagaimana mengelola atau mengontrolnya agar tidak berdampak bagi lingkungan. (*/) (Photo credi) Amy Shamblen)
BACA JUGA : KENAPA ECO-FRIENDLY FASHION RAMAH LINGKUNGAN TAPI TAK RAMAH DOMPET